Rumahku, suatu hari…
‘ Siapa mi ? ‘
‘ Budhe Win...’ sahut ibuku.
aku bergegas melanjutkan sarapanku. Sampai aku perhatikan wajah ibuku
yang resah, aku menghentikan kegiatan menyendok nasi gorengku.
‘ Ada apa mi ? gawat ya ? resah begitu…’
‘ Masih soal mbak Lea, nduk. Mbok coba to, kamu itu main kesana, ngobrol
ama mbak Lea, kalian kan seumuran, pasti ngobrolnya bisa enak. Kasian
Budhe tuh, udah gak punya cara ngadepin mbakyumu itu..’
‘ InsyaAllah mi, ntar kita kan ketemu di acara nikahan mas Chris. aku berangkat dulu mi, udah
siang ni..’ ucapku sembari mencium tangannya dan kedua pipinya.
Budheku emang lagi pusing menghadapi mbak Lea. Sudah sekitar 3 bulan ini
mbak Lea jadi aneh, tidak seperti biasanya. Dia seperti seseorang yang
kehilangan kendali jiwanya. Itu terjadi setelah dia mengenal kekasih
barunya. Begitu cerita semua saudara sepupuku, juga mami. Satu-satunya
yang selalu di ajak curhat sama Budhe.
Rumah mas Chris…
Kami bergerombol di sofa paling pojok. Pernikahan kakak sepupuku ini
memang cuma di gelar di rumah, hanya keluarga besar saja, sederhana.
Senang sekali rasanya bertemu para sepupu yang sebaya setelah lama
sekali kami jarang ngobrol karena kesibukan masing-masing. Ketawa-ketiwi
ckikikan. Ada aja cerita yang bikin kami terkekeh-kekeh. Hingga mbak
Anne nyeletuk,
‘ Lea dateng tuh, ama cowoknya...’
Serentak kami berdiri menyambutnya, tersenyum kepada mereka.
Sejenak aku terkesiap.Ya…Tuhan ! Aku melihat ular hitam melilit di perut
lelaki itu, juga di perut mbak Lea !!
Elen menjawil lenganku. Kami
berpandangan sekilas,. Debar jantungku berdetak lebih cepat dari biasa.
Memang diantara kami, aku dan Elen yang memiliki kelebihan aneh ini.
Aku berusaha setenang mungkin. Sebagai yang terakhir disapa, aku
berusaha menyiapkan diri. Ku pegang erat tangannya, sebuah ayat ku baca
khusyuk dan pelan dalam hatiku. Hanya sekejab mbak Lea memegang
tanganku, segera menepiskan, seolah menyadari aku sedang menggertaknya
dalam hati.
Dan lelaki itu tersenyum dengan sinis kepadaku, pasti ‘dia’ sadar, aku
tahu kehadirannya. Dia tak mau berjabat tangan denganku, hanya
mengatupkan dua tangan di depan dada. Aku membalas senyumnya dengan
pandangan tajam. Ada sebersit sinar jahat di matanya saat dia tersenyum
kepadaku.
Aku bergegas meninggalkan mereka. Mencari ibu untuk menenangkan perasaan
ini. Aku memeluknya begitu ia ku jumpai di dekat meja hidangan. Ibu
memandangi wajah pucatku, lalu menuntunku ke kamar sebelah. Aku
memeluknya lagi. Beliau menciumi keningku, menggosok punggungku, mencoba
menenangkan nafasku yang tak beraturan. Ibu pasti tahu, aku sudah
melihat ’sesuatu’. Aku melepaskan pelukan dan menatapnya,
‘ Mi, mungkin firasat budhe benar, dia bukan laki-laki baik-baik,
Mi. Aku melihat ular hitam melingkar di perutnya, juga di perut mbak
Lea. Kita mesti tolong mbak Lea, Mi...’ lirih aku berkata, dan memeluk ibuku kembali.
Ya Tuhan, bukan aku tidak bersyukur atas karunia ini. Hanya saja, kadang aku merasa takut, ya..takut sekali.
* Tulisan ini pernah dipublish di Kompasiana pada tanggal 5 Nov 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar