Selasa, 25 Juni 2013

Terawangan Mbah Kunto

Meski tak lebih dari dukun kampung, kabarnya Mbah Kunto mampu menaikkan jabatan, menambah aura kecantikan dari para artis atau calon artis, menambah pundi-pundi kekayaan, mendatangkan jodoh, memberi bermacam kesaktian, hingga urusan sandal jepit yang hilang. Kabar tersebut membuat nama Mbah Kunto tenar hingga ke beberapa kota besar.

Memang bukan sekadar kabar angin jika melihat kenyataan bahwa hampir seluruh penduduk pernah menyaksikan kedatangan artis, pejabat dan golongan kelas atas lainnya yang mampir di tempat Mbah Kunto. Bukti lain, bahwa beberapa penduduk yang sakit, kabarnya bisa disembuhkan begitu saja hanya dengan merapal mantra dan menyelupkan keris pusakanya ke dalam air tempayan bertabur kembang tujuh rupa. Mbah Kunto memang sakti, seperti itulah pencitraan penduduk padanya.


Tepat di hari pernikahan Lastri -putrinya, Mbah Kunto meramalkan sesuatu. Menurutnya, setelah purnama ke tujuh semenjak pernikahan itu, di kampungnya akan terlahir seorang anak berkulit hitam pekat. Kira-kira dua atau tiga minggu setelah kelahirannya, seisi kampung akan terserang wabah penyakit. Hanya bayi berkulit pekat itulah yang bisa mengobati penduduk.

Hasil penerawangan tersebut tentu saja membuat penduduk cemas. Setelah lebih dari tiga dasawarsa berpraktik, baru kali ini ia memberikan kabar langsung dari mulutnya. Biasanya, Mbah Kunto menyampaikan warta terawangannya melalui Bergawa, murid kesayangannya. Seperti terawangan sebelumnya tentang meninggalnya salah satu dari kepala dusun, Bergawa jugalah yang menjadi juru warta.

Ketidakwajaran yang ditangkap penduduk itulah yang sebenarnya melahirkan kecemasan, bukan semata isi dari terawangan tersebut. Kecemasan yang kemudian melahirkan praduga tentang ada apa di balik semua itu? Apakah kabar yang terlontar itu adalah musibah, atau justru kabar baik dengan lahirnya penyelamat baru di kampung mereka? Pertanyaan yang terkesan miringpun muncul, bagaimana mungkin bayi berumur dua atau tiga minggu mampu menyembuhkan wabah penyakit? Sedang untuk bertahan hidup saja ia masih menggantungkan nyawa ke tetek ibunya. Bahkan sebuah spekulasi lain muncul bahwa Mbah Kunto akan segera meninggal dan kesaktiannya akan menitis pada bayi yang diramalkannya. Entahlah, apapun pernyataan yang dilontarkan warga, tak sedikitpun mampu mematahkan kepercayaan mereka pada kesaktian Mbah Kunto. Kepercayaan adalah kepercayaan, bukan sesuatu yang menuntut penjelasan.
***

Seminggu menjelang purnama ke tujuh, suasana terasa semakin mencekam. Timbunan harapan, kecemasan dan rasa penasaran terhadap kabar yang terlanjur tersebar itu, mau tidak mau menuntut pembuktian. Tuntutan yang bukan hanya terasa di dalam kampung, melainkan telah menyebar jauh ke luar kampung.
Sebenarnya, sejak beredarnya warta terawangan itu, pendudukpun secara tidak langsung telah mencari pemmbuktiannya. Mereka menandai ibu-ibu hamil yang diperkirakan akan melahirkan di waktu yang telah ditentukan. Bahkan, ada beberapa ibu hamil dari kampung lain yang sengaja hijrah ke kampung tersebut, semata-mata untuk mendapat peruntungan jika anak yang terlahir kelak menjadi sosok penyelamat sesuai warta terawangan Mbah Kunto.

Melahirkan anak adalah sebuah berkah yang tak terhingga. Tapi melahirkan anak yang telah diprediksi sebagai juru selamat, lebih dari sekedar berkah. Meskipun semua tahu, jika anak yang diprediksi pasti memiliki kulit yang sangat legam, bahkan tak menutup kemungkinan akan dijadikan bahan ejekan bagi teman sepermainannya kelak.

Namun harapan tetaplah harapan. Kesaktian bawaan semenjak lahir adalah karunia tak terhingga yang bisa mengangkat derajat dan status mereka ke tingkat yang lebih tinggi dan dihargai. Bukanlah suatu bentuk dari ketidakwajaran, saat hampir semua penduduk merasakan harapan yang sama.

Purnama masih beberapa hari lagi saat jeritan seorang ibu terdengar memecah gemersik angin yang menerpa pohon bambu. Proses persalinanpun berlangsung seiring pecahnya air tuba. Tak lama berselang, tangisan bayi terdengar memecah kecemasan. Kelahiran yang seharusnya disambut dengan kegembiraan, malah ditanggapi dengan perasaan sebaliknya. Tak tersirat sedikitpun keceriaan dari wajah orang-orang yang hadir di sana. Semua kecewa, karena waktu kelahiran tersebut tidak sesuai dengan harapan, begitupun dengan ciri-cirinya. Jelas, jika bayi itu bukanlah bayi yang diramalkan.

Adalah Mak Pariyem, paraji (dukun beranak) yang menangani proses persalinan tersebut. Ia jugalah yang menenangkan keluarga dan kerabat mereka dengan kata-katanya yang selalu bijak.
"Kelahiran adalah anugerah, rahmat, juga rizki. Karenanya tak baik menolak rizki, apalagi Gusti Allah yang memberikan rizki ini secara langsung. Opo kowe berani menolak rizki dari Gusti sementara di waktu lalu kowe memohon mohon?" Begitulah katanya, saat ia jengah memperhatikan wajah orang-orang di sana yang seolah kecewa pada kelahiran bayi tersebut.

Mak Pariyem memang dikenal sebagai satu-satunya paraji di kampung itu. Ketiadaan fasilitas puskesmas atau juga bidan, membuat fungsinya sebagai juru selamat kelahiran menjadi yang utama. Bukan juga sebuah kebetulan jika Mak Pariyem adalah mantan istri Mbah Kunto. Meski dulu mereka pernah disebut-sebut sebagai pasangan yang paling serasi, namun tak ada seorangpun yang tahu apa penyebab perceraian mereka, termasuk Lastri anak semata wayangnya.

"Mak! Kabarnya kandungan si Lastri sudah membesar. Kapan kira-kira ia bakal melahirkan?" Seorang pemuda bertanya dengan rasa penasaran yang sangat tinggi.
"Entahlah! Dia kan baru tujuh bulan menikah. Masa iya sih mau melahirkan cepat-cepat?" Jawabnya sedikit ketus.

Bukan karena pertanyaan itu yang membuat perubahan pada sikapnya, tetapi ia sendiri tak tahu di mana keberadaan anaknya sekarang. Mbah Kunto memang sengaja menyembunyikan Lastri dan Bergawa semenjak mereka menikah. Alasannya bahwa Lastri dan Bergawa harus menjalani sebuah proses penurunan ilmu dengan hidup dalam pengasingan dan keprihatinan. Alasan yang memberikan kesan sangat tidak masuk akal, tetapi dianggap wajar mengingat profesi yang digeluti Mbah Kunto.

"Lastri kan anak Mak! Masa sih Mak Iyem sampai ga' tahu keadaan anaknya sendiri?" lanjut pemuda itu.
"Iya, tapi tanggung jawab pada anak perempuan yang sudah menikah itu kan ada pada suaminya. Apalagi selama ini ia ikut sama Bapaknya!" sahut Mak Pariyem seolah tegar mendapati kenyataan bahwa ia tak tahu atau tak peduli pada nasib anaknya sekarang. Meski pada kenyataannya, batinnya selalu menjerit. Terlebih jika ia merunut sebab dari kenyataan tersebut yang memang akibat dari perintah Mbah Kunto yang tak seorangpun mampu menepis ucapannya, apalagi sampai melawan.

Pemuda itu terdiam, seolah sedang menyelami isi batin Mak Pariyem. Ia benar-benar paham apa maksud dari kata-kata perempuan setengah baya di hadapannya itu. Lebih dari itu, ia benar-benar memahami apa yang dirasakan Mak Pariem saat dihadapkan pada kenyataan bahwa Mak Pariyem adalah sisi lain dari catatan sejarah Mbah Kunto.
***
Seminggu setelah kejadian tersebut, di beranda rumah panggungnya, Mak Pariyem merenungkan percakapan yang ia lakukan dengan pemuda itu tempo hari. Mungkin saja ucapan pemuda itu benar jika anaknya tengah berbadan dua? Lalu, kenapa juga setelah pernikahannya, Lastri atau Bergawa tak pernah menemuinya? Apa benar semua ini berkaitan dengan pewarisan ilmu dari Mbah Kunto? Bahkan perkawinannyapun terkesan mendadak. Ia tahu jika perkawinan tersebut dilakukan hanya seminggu setelah kedatangan Lastri dari perantauannya di negeri asing. Ia merasa ada yang disembunyikan dari semua ini, tapi ia tak berani menduga-duga apalagi menerka. Ia hanya membiarkan dirinya larut dalam kenyataan pahit tersebut.

"Ah! Malam ini adalah purnama ke tujuh." Tiba-tiba ia teringat pada terawangan Mbah Kunto tentang kelahiran juru selamat yang akan lahir setelah purnama ke tujuh. Ia pun tahu jika dalam waktu yang dekat ada beberapa pasiennya yang diperkirakan akan melahirkan.

Matanya menatap jauh melintasi halaman rumah yang dirimbuni pepohonan. Sorot matanya menunjukkan jika ia sedang menanti. Penantian pada siapa saja yang membutuhkannya. Membantu proses kelahiran yang meskipun dilakukannya secara ikhlas, tapi ia tidak menampik kenyataan bahwa dengan profesi tersebut ia bisa bertahan hidup.

Penantiannya terjawab sudah saat dua orang pemuda terlihat dari kejauhan melangkah dengan sangat tergesa. Semakin dekat, Mak Pariyempun memastikan jika kedua pemuda itu datang untuk meminta pertolongannya. Ia mengenali satu di antara mereka yang tidak lain adalah suami Ningsih, pasiennya yang akan melahirkan di waktu dekat ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan jika saat ini Ningsih akan melahirkan.

"Ada apa Jo? Istrimu sudah kerasa?" Tanya Mak Pariyem, beberapa saat setelah ia berdiri.

"Ya Mak!Bahkan istrinya si Udin pun katanya sudah kerasa." sahut Parjo, -pemuda yang ditanya Mak Pariyem seraya menjelaskan kondisi yang sama dari istri temannya itu. Ia menyahut setengah berteriak, karena tahu jika fungsi pendengaran Mak Pariyem telah berkurang, apalagi dari jaraknya saat ini yang terbilang masih cukup jauh.

Tanpa menunggu kedua pemuda itu, Mak Pariyem bergegas masuk ke dalam rumah, mengambil peralatan yang memang selalu siap di atas meje kecil di ruang tamu.

Mak Pariyem tampak sangat bersemangat, hingga ia lupa mempersilahkan kedua pemuda itu untuk masuk atau sekedar beristirahat di beranda barang sejenak. Entah apa yang membuatnya begitu semangat, mungkin karena kegagalan panen yang dialami sebagian besar penduduk,-termasuk dirinya, hingga memberikan dampak besar dalam perekonomiannya. Karenanya, wajar jika kali ini ia sangat menggantungkan hidup pada profesinya sebagai paraji.

Kedua pemuda itupun sepertinya memang tak mau menunggu lama, terutama Parjo. Baru saja mak Pariyem keluar dari pintu rumahnya, Parjo bergegas menyambutnya. Dengan sigap namun sopan, ia meminta buntalan kain yang berisi peralatan persalinan tersebut. Parjo dan Udin, secepatnya membimbing Mak Pariyem untuk turun dari beranda panggung lalu meninggalkan rumah itu.

Sesampainya di tujuan, Mak Pariyem terkejut dengan keramaian yang ada. Keramaian yang tidak semestinya, hanya untuk menunggui proses kelahiran si jabang bayi. Betapa tidak, biasanya ia hanya menemui dua hingga lima kepala keluarga saja yang menunggu proses persalinan. Itu pun hanya keluarga, kerabat atau tetangga dekat saja. Tapi kali ini, nampaknya hampir seluruh warga dusun ada di tempat itu. Bahkan ada warga dusun lain yang sengaja datang untuk menyaksikan persalinan tersebut.

Warta terawangan Mbah Kunto, ternyata bertuah. Bukan hanya itu saja dampaknya, terlihat juga beberapa ibu hamil yang duduk saling bersanding, seolah sedang menunggu giliran. Di antaranya, terlihat juga istri Udin yang sesekali meringis menahan sakit. Beberapa pemuda yang diduga sebagai suami dari ibu-ibu hamil tersebut, lantas mendekati Mak Pariyem dan memohon agar istrinya dipaksa untuk melakukan persalinan saat itu juga.

Mendengar permohonan yang sangat tak masuk akal, Mak Pariyem menolak mentah-mentah. Ia sangat paham dengan profesinya sebagai juru selamat, -meski keselamatan sepenuhnya berada di tangan Gusti Allah- karenanya, ia sangat tahu bahaya melahirkan secara paksa. Ia tak ingin bermain-main dengan nyawa, apalagi dengan mempertaruhkan dua nyawa sekaligus.

Para suami memaksa, hingga terjadi sedikit keributan. Meski demikian, Mak Pariyem tetap menolak, bahkan menolak untuk membantu persalinan Ningsih jika keadaan tidak bisa ditertibkan. Penolakan tersebut justru memicu pertentangan lain dari keluarga Ningsih. Keributanpun semakin membesar, bentrokkan fisik pasti terjadi jikasaja kepala dusun dan warga lainnya tidak bergegas menertibkan.

Beruntung, kesalahpahaman itu bisa diselesaikan dengan cepat. Setelah beberapa jam menunggu dalam cemas, tangisan bayi pun terdengar, namun rintihan dan erangan Ningsih masih saja berlanjut. Bayi kembar, itulah dugaan yang melintas di benak warga. Benar saja, beberapa menit kemudian, tangisan bayi ke dua terdengar. Ningsih melahirkan dua bayi sekaligus, lakilaki dan perempuan.

Seperti halnya kelahiran sebelumnya di dusun lain. Kelahiran itu pun ditanggapi dengan kekecewaan dari pihak keluarga dan kerabat. Harapan untuk mendapatkan bayi yang diramalkan ternyata harus kandas dengan kelahiran dua insan berbeda jenis yang menurut kepercayaan setempat harus diruwat atau dipisahkan agar tidak mendatangkan marabahaya di kemudian hari.

Apapun keputusan dan kepercayaan keluarga, tugas Mak Pariyem hanya sebatas proses persalinan. Seperti halnya pada kelahiran-kelahiran sebelumnya, ia memberi wejangan yang sangat bijak bahwa bayi adalah titipan, amanat Illahi yang tidak sepantasnya dilibatkan dalam sebuah permainan keyakinan.

Belum sempat Mak Pariyem beristirahat, ia dikagetkan oleh teriakan Udin dari luar yang mendapati istrinya merintih kesakitan. Tanpa mempedulikan lagi keadaan tubuhnya yang lelah, Mak Pariyem melakukan prosesi yang sama terhadap istri Udin. Proses lanjutan yang memakan waktu selama berjam-jam tersebut, akhirnya terbayar sudah dengan jerit tangis bayi ke tiga di rumah yang sama.

Melihat ciri-ciri bayi yang tidak sesuai harapan, Mak Pariyem memastikan akan ada perlakuan yang sama untuk bayi ke tiga tersebut. Kekecewaan.
***
Purnama telah berlalu, bulanpun hampir memasuki fase butanya. Tak ada bayi lain yang terlahir setelah purnama ke tujuh. Itu berarti juga tidak ada bayi yang diramalkan.

Sebagian penduduk mulai beranggapan jika ramalan tersebut hanyalah isapan jempol semata. Warta yang sengaja dilemparkan untuk memancing kekisruhan. Sebagian yang lain masih percaya bahwa ramalan Mbah Kuto pasti menemui kebenarannya.

Saat percakapan tentang warta terawangan itu semakin memanas, satu dusun di kampung itu terjangkit wabah diare. Wabah yang entah bagaimana bisa terhubung dengan kebenaran warta terawangan Mbah Kunto. Namun demikian, masih ada sebagian penduduk yang menolak jika hal tersebut berkaitan dengan terawangan Mbah Kunto. Bukan penolakan logis memang, penolakan mereka semata-mata didasari pada tidak adanya kelahiran bayi sebagai juru selamat mereka.

Beberapa hari berlalu, wabah itu menyebar ke dusun yang lain. Penduduk kampung panik. Tepat di suatu saat yang telah disepakati mereka berbondong-bondong menuju rumah Mbah Kunto untuk meminta penjelasan dan pencerahan tentang apa yang sedang melanda kampung mereka.

Mbah Kunto yang memang tak takut pada siapapun termasuk ancaman kematian, menghadapi penduduk dengan sangat dingin. Ia hanya mengutarakan perihal kebenaran dari terawangannya.

Penduduk yang tidak menerima penjelasan tersebut, menuntut Mbah Kunto untuk membuktikan kebenaran tersebut. Menurut mereka, jika terawangan yang lalu itu benar, maka kebenaran tentang bayi berkulit hitam pekat sebagai juru selamat itu haruslah bisa dibuktikan.

Mendengar pernyataan tersebut, Mbah Kunto hanya tertawa seraya menunjuk bukit larangan yang berdiri angkuh di hadapannya. "Tapi ingat! Hanya tiga orang yang kupilih dan tiga orang yang kalian pilih yang berhak datang ke sana!" tegas Mbah Kunto seraya menatap tajam puluhan, mungkin ratusan mata di hadapannya.

Persyaratan tersebut disambut baik oleh warga, tak menunggu lama pendudukpun menentukan tiga orang sebagai wakil mereka. Begitu pun Mbah Kunto yang menunjuk tiga orang lainnya yang dianggap sangat berpengaruh terhadap warga. Enam orang pilihan tersebut, selanjutnya bergegas menuju bukit larangan setelah keluar izin langsung dari mulut Mbah Kunto.

Beberapa jam berlalu, hampir tengah malam saat keenam orang pilihan tersebut kembali. Penduduk menyambutnya dengan sangat antusias. Gelap malam yang seolah tak sanggup menutup wajah ceria dari orang pilihan tersebut, ternyata menular pada penduduk lain yang ada di tempat itu. Mereka tahu jika warta terawangan itu benar meskipun kebenaran sesungguhnya belum tersampaikan secara langsung.

"Mbah Kunto memang sakti! Terawangannya benar!" salah seorang yang terpilih berteriak dari kejauhan.

Sontak, seluruh penduduk ikut berteriak meluapkan kegembiraannya. Sebagian menyanjung akan kesaktian Mbah Kunto, sebagian lainnya bersyukur atas kelahiran juru selamat yang akan membersihkan wabah di kampung mereka.
***
Luapan kegembiraan warga, juga berita tentang lahirnya juru selamat yang tak lain adalah bayi dari Lastri, dengan cepat menyebar. Berita itupun tak sampai juga ke telinga Mak Pariyem.

Tertarik pada kebenaran berita tersebut, Mak Pariyem nekad mendatangi Mbah Kunto untuk mendapati kebenaran. Bukan masalah kelahiran cucunya yang dianggap sebagai juru selamat, melainkan kecemasan lain yang telah merambah alam duganya. Dengan profesi yang ditekuninya selama ini, hitungannya tak mungkin salah. Lastri tak mungkin melahirkan secepat itu, kecuali dalam keadaan prematur. Dari segi keselamatan, risiko kematian ibu, anak atau keduanya sangat besar bagi ibu yang melahirkan secara prematur. Apalagi jika melihat kenyataan bahwa proses persalinan yang dilakukan tanpa bantuan orang yang berpengalaman. Begitupun dengan pengalaman si ibu, bahwa kelahiran ini adalah persalinan pertamanya. Rentetan kecemasan tersebut ternyata menghasilkan praduga lain yang merujuk pada warna kulit cucunya. Rasanya tak mungkin jika Lastri dan Bergawa yang memiliki kulit kecokelatan mendapatkan keturunan yang hitam legam.

Sambil terus bertanya-tanya dalam hati, Mak Pariyem mempercepat langkahnya. Ia ingin cepat-cepat sampai di tempat Mbah Kunto. Ia ingin mendapatkan penjelasan tentang apa yang terjadi sebenarnya. Penjelasan tentang kecemasan dan kecurigaannya selama ini. Tentang perkawinan anaknya, tentang pengasingan anaknya, tentang kelahiran cucunya, hingga warta terawangan yang dianggap fenomenal tersebut. Ia tak lagi peduli jika saja Mbah Kunto menganggapnya lancang, lantas melampiaskan begitu saja kemarahannya. Ia pun tak lagi peduli tentang kesaktian yang dimiliki mantan suaminya itu -yang kabarnya hanya dengan menghembuskan nafas dari mulut, lawannya akan lumpuh layu di hadapannya. Yang ia pedulikan hanyalah penjelasan dan nasib anaknya kelak.

Sayang, belum sempat merambah masuk ke area kekuasaan Mbah Kunto, dua orang murid menghadangnya. Percekcokkan mulut pun terjadi antara Mak Pariyem dan kedua murid Mbah Kunto. Menurut mereka, Mak Pariyem adalah satu-satunya orang yang dilarang masuk ke wilayah tersebut. Mak Pariyem sebenarnya tahu tentang hal itu, namun ia tetap saja memaksa dengan berbagai alasan. Tekadnya telah bulat, meski nyawa taruhannya.

Perselisihan itu semakin memuncak, jerit histerispun tak mampu dibendung dari sosok ibu yang menginginkan penjelasan tentang anaknya. Saat itulah, terdengar teriakan yang tak lain keluar dari mulut Mbah Kunto.
"Biarkan dia masuk! Kalian, pergilah!"

Kedua muridnya dengan segera melepaskan cengkraman pada tangan Mak Pariyem, lalu menjauh dari tempat tersebut tanpa sepatah katapun yang terucap adri mulutnya.

Mak Pariyem yang berada dalam posisi bersimpuh, mulai berdiri lalu mendekati Mbah Kunto. Matanya menatap dengan sangat tajam, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk mengalihkan pandangannya meski hanya sekedip.

Jauh dari dugaan Mak Pariyem. Tatapan tajamnya, ternyata dibalas Mbah Kunto dengan senyum yang sangat tulus. senyum yang bahkan tak pernah ia rasakan selama masih bersamanya dahulu. Sifat dingin dan bengis yang telah terpatri di benak perempuan itu seakan luruh begitu saja. Ia tak tahu, sikap seperti apa yang harus ditunjukkan pada mantan suaminya itu. Meski demikian, ia tak menyurutkan sedikitpun tekad untuk meminta penjelasan.
***
Di dalam gubug tempat praktiknya, telah tampak juga Lastri dan Bergawa. Mbah Kunto kemudian menjelaskan dengan sangat tenang perihal semua peristiwa yang terjadi selama ini. Tentang perkawinan Lastri dan Bergawa, juga pengasingan mereka, sebenarnya hanyalah upaya untuk menyembunyikan kehamilan Lastri yang di luar pernikahan. Lastri ditengarai telah hamil dua bulan saat kembali dari negeri asing. Penyebabnya, ia mengalami perkosaan dari orang-orang berkulit hitam di sana.

Kehamilan dan perkosaan itu dianggap sebagai aib yang tak laik menyebar, karena itu Mbah Kunto menutupnya dengan warta terawangan tentang kelahiran juru selamat. Tentang waktu kelahiran juru selamat itu sendiri, bukanlah suatu hal yang sulit untuk memprediksinya setelah bertahun-tahun hidup dengan seorang paraji.

Perkawinan, warta terawangan dan segala permasalahan yang dibuatnya, tentunya bukanlah suatu hal yang dilakukan tanpa melalui pemikiran mendalam. Tidak juga mempertaruhkan keselamatan orang banyak tanpa solusi pemecahannya. Ia mengungkapkan tentang wabah yang terjadi di beberapa dusun, adalah murni perbuatannya. Ia membubuhkan racun yang diramunya pada beberapa sumber mata air. Namun, iapun telah mempersiapkan penawarnya. Dengan cara itu, ia memanipulasi pikiran warga bahwa hanya cucunyalah yang sanggup membersihkan wabah tersebut.

Satu hal yang sangat ia tekankan dalam penjelasannya, "Aib tetaplah aib. Meski demikian, anak yang terlahir akibat aib tetap memiliki hak untuk hidup dan dihargai tanpa sedikitpun celaan. Hanya cara ini yang bisa aku tempuh untuk menyelamatkan hidup dan kehidupan cucuku." ucapnya lirih sambil menautkan pandang pada cucunya.
***

catatan:
cerpen ini menginspirasi novel berjudul Lastri
sebelumnya hadir juga di sini
 juga di sini

3 komentar:

  1. saya juga mau diterawang mbak...eh...mbah. kira kira...saya bakalan jadi selibritis yang sesuatu nggak ya...?

    keren...dari judulnya aja ketahuan siapa yang nulis. membumi dengan nama nama yang akrab di telinga...pokokna mah kang Her banget dah....

    BalasHapus
  2. saya juga mau diterawang mbak...eh...mbah. kira kira...saya bakalan jadi selibritis yang sesuatu nggak ya...?

    keren...dari judulnya aja ketahuan siapa yang nulis. membumi dengan nama nama yang akrab di telinga...pokokna mah kang Her banget dah....

    BalasHapus
  3. eeeeaaa, ketahuan, :P
    qiqiqqiqi

    BalasHapus