Meski tak lebih dari dukun kampung,
kabarnya Mbah Kunto mampu menaikkan jabatan, menambah aura kecantikan
dari para artis atau calon artis, menambah pundi-pundi kekayaan,
mendatangkan jodoh, memberi bermacam kesaktian, hingga urusan sandal
jepit yang hilang. Kabar tersebut membuat nama Mbah Kunto tenar hingga
ke beberapa kota besar.
Memang bukan sekadar kabar angin jika melihat
kenyataan bahwa hampir seluruh penduduk pernah menyaksikan kedatangan
artis, pejabat dan golongan kelas atas lainnya yang mampir di tempat
Mbah Kunto. Bukti lain, bahwa beberapa penduduk yang sakit, kabarnya
bisa disembuhkan begitu saja hanya dengan merapal mantra dan menyelupkan
keris pusakanya ke dalam air tempayan bertabur kembang tujuh rupa. Mbah
Kunto memang sakti, seperti itulah pencitraan penduduk padanya.
Tepat di hari pernikahan Lastri -putrinya, Mbah
Kunto meramalkan sesuatu. Menurutnya, setelah purnama ke tujuh semenjak
pernikahan itu, di kampungnya akan terlahir seorang anak berkulit hitam
pekat. Kira-kira dua atau tiga minggu setelah kelahirannya, seisi
kampung akan terserang wabah penyakit. Hanya bayi berkulit pekat itulah
yang bisa mengobati penduduk.
Hasil penerawangan tersebut tentu saja membuat
penduduk cemas. Setelah lebih dari tiga dasawarsa berpraktik, baru kali
ini ia memberikan kabar langsung dari mulutnya. Biasanya, Mbah Kunto
menyampaikan warta terawangannya melalui Bergawa, murid kesayangannya.
Seperti terawangan sebelumnya tentang meninggalnya salah satu dari
kepala dusun, Bergawa jugalah yang menjadi juru warta.
Ketidakwajaran yang ditangkap penduduk itulah
yang sebenarnya melahirkan kecemasan, bukan semata isi dari terawangan
tersebut. Kecemasan yang kemudian melahirkan praduga tentang ada apa di
balik semua itu? Apakah kabar yang terlontar itu adalah musibah, atau
justru kabar baik dengan lahirnya penyelamat baru di kampung mereka?
Pertanyaan yang terkesan miringpun muncul, bagaimana mungkin bayi
berumur dua atau tiga minggu mampu menyembuhkan wabah penyakit? Sedang
untuk bertahan hidup saja ia masih menggantungkan nyawa ke tetek ibunya.
Bahkan sebuah spekulasi lain muncul bahwa Mbah Kunto akan segera
meninggal dan kesaktiannya akan menitis pada bayi yang diramalkannya.
Entahlah, apapun pernyataan yang dilontarkan warga, tak sedikitpun mampu
mematahkan kepercayaan mereka pada kesaktian Mbah Kunto. Kepercayaan
adalah kepercayaan, bukan sesuatu yang menuntut penjelasan.
***
Seminggu menjelang purnama ke tujuh,
suasana terasa semakin mencekam. Timbunan harapan, kecemasan dan rasa
penasaran terhadap kabar yang terlanjur tersebar itu, mau tidak mau
menuntut pembuktian. Tuntutan yang bukan hanya terasa di dalam kampung,
melainkan telah menyebar jauh ke luar kampung.
Sebenarnya, sejak beredarnya warta terawangan
itu, pendudukpun secara tidak langsung telah mencari pemmbuktiannya.
Mereka menandai ibu-ibu hamil yang diperkirakan akan melahirkan di waktu
yang telah ditentukan. Bahkan, ada beberapa ibu hamil dari kampung lain
yang sengaja hijrah ke kampung tersebut, semata-mata untuk mendapat
peruntungan jika anak yang terlahir kelak menjadi sosok penyelamat
sesuai warta terawangan Mbah Kunto.
Melahirkan anak adalah sebuah berkah yang tak
terhingga. Tapi melahirkan anak yang telah diprediksi sebagai juru
selamat, lebih dari sekedar berkah. Meskipun semua tahu, jika anak yang
diprediksi pasti memiliki kulit yang sangat legam, bahkan tak menutup
kemungkinan akan dijadikan bahan ejekan bagi teman sepermainannya kelak.
Namun harapan tetaplah harapan. Kesaktian bawaan
semenjak lahir adalah karunia tak terhingga yang bisa mengangkat derajat
dan status mereka ke tingkat yang lebih tinggi dan dihargai. Bukanlah
suatu bentuk dari ketidakwajaran, saat hampir semua penduduk merasakan
harapan yang sama.
Purnama masih beberapa hari lagi saat jeritan
seorang ibu terdengar memecah gemersik angin yang menerpa pohon bambu.
Proses persalinanpun berlangsung seiring pecahnya air tuba. Tak lama
berselang, tangisan bayi terdengar memecah kecemasan. Kelahiran yang
seharusnya disambut dengan kegembiraan, malah ditanggapi dengan perasaan
sebaliknya. Tak tersirat sedikitpun keceriaan dari wajah orang-orang
yang hadir di sana. Semua kecewa, karena waktu kelahiran tersebut tidak
sesuai dengan harapan, begitupun dengan ciri-cirinya. Jelas, jika bayi
itu bukanlah bayi yang diramalkan.
Adalah Mak Pariyem, paraji (dukun beranak)
yang menangani proses persalinan tersebut. Ia jugalah yang menenangkan
keluarga dan kerabat mereka dengan kata-katanya yang selalu bijak.
"Kelahiran adalah anugerah, rahmat, juga rizki.
Karenanya tak baik menolak rizki, apalagi Gusti Allah yang memberikan
rizki ini secara langsung. Opo kowe berani menolak rizki dari Gusti sementara di waktu lalu kowe
memohon mohon?" Begitulah katanya, saat ia jengah memperhatikan wajah
orang-orang di sana yang seolah kecewa pada kelahiran bayi tersebut.
Mak Pariyem memang dikenal sebagai satu-satunya
paraji di kampung itu. Ketiadaan fasilitas puskesmas atau juga bidan,
membuat fungsinya sebagai juru selamat kelahiran menjadi yang utama.
Bukan juga sebuah kebetulan jika Mak Pariyem adalah mantan istri Mbah
Kunto. Meski dulu mereka pernah disebut-sebut sebagai pasangan yang
paling serasi, namun tak ada seorangpun yang tahu apa penyebab
perceraian mereka, termasuk Lastri anak semata wayangnya.
"Mak! Kabarnya kandungan si Lastri sudah membesar. Kapan kira-kira ia bakal melahirkan?" Seorang pemuda bertanya dengan rasa penasaran yang sangat tinggi.
"Entahlah! Dia kan baru tujuh bulan menikah. Masa iya sih mau melahirkan cepat-cepat?" Jawabnya sedikit ketus.
Bukan karena pertanyaan itu yang membuat
perubahan pada sikapnya, tetapi ia sendiri tak tahu di mana keberadaan
anaknya sekarang. Mbah Kunto memang sengaja menyembunyikan Lastri dan
Bergawa semenjak mereka menikah. Alasannya bahwa Lastri dan Bergawa
harus menjalani sebuah proses penurunan ilmu dengan hidup dalam
pengasingan dan keprihatinan. Alasan yang memberikan kesan sangat tidak
masuk akal, tetapi dianggap wajar mengingat profesi yang digeluti Mbah
Kunto.
"Lastri kan anak Mak! Masa sih Mak Iyem sampai ga' tahu keadaan anaknya sendiri?" lanjut pemuda itu.
"Iya, tapi tanggung jawab pada anak perempuan
yang sudah menikah itu kan ada pada suaminya. Apalagi selama ini ia ikut
sama Bapaknya!" sahut Mak Pariyem seolah tegar mendapati kenyataan
bahwa ia tak tahu atau tak peduli pada nasib anaknya sekarang. Meski
pada kenyataannya, batinnya selalu menjerit. Terlebih jika ia merunut
sebab dari kenyataan tersebut yang memang akibat dari perintah Mbah
Kunto yang tak seorangpun mampu menepis ucapannya, apalagi sampai
melawan.
Pemuda itu terdiam, seolah sedang menyelami isi
batin Mak Pariyem. Ia benar-benar paham apa maksud dari kata-kata
perempuan setengah baya di hadapannya itu. Lebih dari itu, ia
benar-benar memahami apa yang dirasakan Mak Pariem saat dihadapkan pada
kenyataan bahwa Mak Pariyem adalah sisi lain dari catatan sejarah Mbah
Kunto.
***
Seminggu setelah kejadian tersebut, di
beranda rumah panggungnya, Mak Pariyem merenungkan percakapan yang ia
lakukan dengan pemuda itu tempo hari. Mungkin saja ucapan pemuda itu
benar jika anaknya tengah berbadan dua? Lalu, kenapa juga setelah
pernikahannya, Lastri atau Bergawa tak pernah menemuinya? Apa benar
semua ini berkaitan dengan pewarisan ilmu dari Mbah Kunto? Bahkan
perkawinannyapun terkesan mendadak. Ia tahu jika perkawinan tersebut
dilakukan hanya seminggu setelah kedatangan Lastri dari perantauannya di
negeri asing. Ia merasa ada yang disembunyikan dari semua ini, tapi ia
tak berani menduga-duga apalagi menerka. Ia hanya membiarkan dirinya
larut dalam kenyataan pahit tersebut.
"Ah! Malam ini adalah purnama ke tujuh."
Tiba-tiba ia teringat pada terawangan Mbah Kunto tentang kelahiran juru
selamat yang akan lahir setelah purnama ke tujuh. Ia pun tahu jika dalam
waktu yang dekat ada beberapa pasiennya yang diperkirakan akan
melahirkan.
Matanya menatap jauh melintasi halaman rumah yang
dirimbuni pepohonan. Sorot matanya menunjukkan jika ia sedang menanti.
Penantian pada siapa saja yang membutuhkannya. Membantu proses kelahiran
yang meskipun dilakukannya secara ikhlas, tapi ia tidak menampik
kenyataan bahwa dengan profesi tersebut ia bisa bertahan hidup.
Penantiannya terjawab sudah saat dua orang pemuda
terlihat dari kejauhan melangkah dengan sangat tergesa. Semakin dekat,
Mak Pariyempun memastikan jika kedua pemuda itu datang untuk meminta
pertolongannya. Ia mengenali satu di antara mereka yang tidak lain
adalah suami Ningsih, pasiennya yang akan melahirkan di waktu dekat ini.
Bahkan tidak menutup kemungkinan jika saat ini Ningsih akan melahirkan.
"Ada apa Jo? Istrimu sudah kerasa?" Tanya Mak Pariyem, beberapa saat setelah ia berdiri.
"Ya Mak!Bahkan istrinya si Udin pun katanya sudah
kerasa." sahut Parjo, -pemuda yang ditanya Mak Pariyem seraya
menjelaskan kondisi yang sama dari istri temannya itu. Ia menyahut
setengah berteriak, karena tahu jika fungsi pendengaran Mak Pariyem
telah berkurang, apalagi dari jaraknya saat ini yang terbilang masih
cukup jauh.
Tanpa menunggu kedua pemuda itu, Mak Pariyem
bergegas masuk ke dalam rumah, mengambil peralatan yang memang selalu
siap di atas meje kecil di ruang tamu.
Mak Pariyem tampak sangat bersemangat, hingga ia
lupa mempersilahkan kedua pemuda itu untuk masuk atau sekedar
beristirahat di beranda barang sejenak. Entah apa yang membuatnya begitu
semangat, mungkin karena kegagalan panen yang dialami sebagian besar
penduduk,-termasuk dirinya, hingga memberikan dampak besar dalam
perekonomiannya. Karenanya, wajar jika kali ini ia sangat menggantungkan
hidup pada profesinya sebagai paraji.
Kedua pemuda itupun sepertinya memang tak mau
menunggu lama, terutama Parjo. Baru saja mak Pariyem keluar dari pintu
rumahnya, Parjo bergegas menyambutnya. Dengan sigap namun sopan, ia
meminta buntalan kain yang berisi peralatan persalinan tersebut. Parjo
dan Udin, secepatnya membimbing Mak Pariyem untuk turun dari beranda
panggung lalu meninggalkan rumah itu.
Sesampainya di tujuan, Mak Pariyem terkejut
dengan keramaian yang ada. Keramaian yang tidak semestinya, hanya untuk
menunggui proses kelahiran si jabang bayi. Betapa tidak, biasanya ia
hanya menemui dua hingga lima kepala keluarga saja yang menunggu proses
persalinan. Itu pun hanya keluarga, kerabat atau tetangga dekat saja.
Tapi kali ini, nampaknya hampir seluruh warga dusun ada di tempat itu.
Bahkan ada warga dusun lain yang sengaja datang untuk menyaksikan
persalinan tersebut.
Warta terawangan Mbah Kunto, ternyata bertuah.
Bukan hanya itu saja dampaknya, terlihat juga beberapa ibu hamil yang
duduk saling bersanding, seolah sedang menunggu giliran. Di antaranya,
terlihat juga istri Udin yang sesekali meringis menahan sakit. Beberapa
pemuda yang diduga sebagai suami dari ibu-ibu hamil tersebut, lantas
mendekati Mak Pariyem dan memohon agar istrinya dipaksa untuk melakukan
persalinan saat itu juga.
Mendengar permohonan yang sangat tak masuk akal,
Mak Pariyem menolak mentah-mentah. Ia sangat paham dengan profesinya
sebagai juru selamat, -meski keselamatan sepenuhnya berada di tangan
Gusti Allah- karenanya, ia sangat tahu bahaya melahirkan secara paksa.
Ia tak ingin bermain-main dengan nyawa, apalagi dengan mempertaruhkan
dua nyawa sekaligus.
Para suami memaksa, hingga terjadi sedikit
keributan. Meski demikian, Mak Pariyem tetap menolak, bahkan menolak
untuk membantu persalinan Ningsih jika keadaan tidak bisa ditertibkan.
Penolakan tersebut justru memicu pertentangan lain dari keluarga
Ningsih. Keributanpun semakin membesar, bentrokkan fisik pasti terjadi
jikasaja kepala dusun dan warga lainnya tidak bergegas menertibkan.
Beruntung, kesalahpahaman itu bisa diselesaikan
dengan cepat. Setelah beberapa jam menunggu dalam cemas, tangisan bayi
pun terdengar, namun rintihan dan erangan Ningsih masih saja berlanjut.
Bayi kembar, itulah dugaan yang melintas di benak warga. Benar saja,
beberapa menit kemudian, tangisan bayi ke dua terdengar. Ningsih
melahirkan dua bayi sekaligus, lakilaki dan perempuan.
Seperti halnya kelahiran sebelumnya di dusun
lain. Kelahiran itu pun ditanggapi dengan kekecewaan dari pihak keluarga
dan kerabat. Harapan untuk mendapatkan bayi yang diramalkan ternyata
harus kandas dengan kelahiran dua insan berbeda jenis yang menurut
kepercayaan setempat harus diruwat atau dipisahkan agar tidak mendatangkan marabahaya di kemudian hari.
Apapun keputusan dan kepercayaan keluarga, tugas
Mak Pariyem hanya sebatas proses persalinan. Seperti halnya pada
kelahiran-kelahiran sebelumnya, ia memberi wejangan yang sangat bijak
bahwa bayi adalah titipan, amanat Illahi yang tidak sepantasnya
dilibatkan dalam sebuah permainan keyakinan.
Belum sempat Mak Pariyem beristirahat, ia
dikagetkan oleh teriakan Udin dari luar yang mendapati istrinya merintih
kesakitan. Tanpa mempedulikan lagi keadaan tubuhnya yang lelah, Mak
Pariyem melakukan prosesi yang sama terhadap istri Udin. Proses lanjutan
yang memakan waktu selama berjam-jam tersebut, akhirnya terbayar sudah
dengan jerit tangis bayi ke tiga di rumah yang sama.
Melihat ciri-ciri bayi yang tidak sesuai harapan,
Mak Pariyem memastikan akan ada perlakuan yang sama untuk bayi ke tiga
tersebut. Kekecewaan.
***
Purnama telah berlalu, bulanpun hampir
memasuki fase butanya. Tak ada bayi lain yang terlahir setelah purnama
ke tujuh. Itu berarti juga tidak ada bayi yang diramalkan.
Sebagian penduduk mulai beranggapan jika ramalan
tersebut hanyalah isapan jempol semata. Warta yang sengaja dilemparkan
untuk memancing kekisruhan. Sebagian yang lain masih percaya bahwa
ramalan Mbah Kuto pasti menemui kebenarannya.
Saat percakapan tentang warta terawangan itu
semakin memanas, satu dusun di kampung itu terjangkit wabah diare. Wabah
yang entah bagaimana bisa terhubung dengan kebenaran warta terawangan
Mbah Kunto. Namun demikian, masih ada sebagian penduduk yang menolak
jika hal tersebut berkaitan dengan terawangan Mbah Kunto. Bukan
penolakan logis memang, penolakan mereka semata-mata didasari pada tidak
adanya kelahiran bayi sebagai juru selamat mereka.
Beberapa hari berlalu, wabah itu menyebar ke
dusun yang lain. Penduduk kampung panik. Tepat di suatu saat yang telah
disepakati mereka berbondong-bondong menuju rumah Mbah Kunto untuk
meminta penjelasan dan pencerahan tentang apa yang sedang melanda
kampung mereka.
Mbah Kunto yang memang tak takut pada siapapun
termasuk ancaman kematian, menghadapi penduduk dengan sangat dingin. Ia
hanya mengutarakan perihal kebenaran dari terawangannya.
Penduduk yang tidak menerima penjelasan tersebut,
menuntut Mbah Kunto untuk membuktikan kebenaran tersebut. Menurut
mereka, jika terawangan yang lalu itu benar, maka kebenaran tentang bayi
berkulit hitam pekat sebagai juru selamat itu haruslah bisa dibuktikan.
Mendengar pernyataan tersebut, Mbah Kunto hanya
tertawa seraya menunjuk bukit larangan yang berdiri angkuh di
hadapannya. "Tapi ingat! Hanya tiga orang yang kupilih dan tiga orang
yang kalian pilih yang berhak datang ke sana!" tegas Mbah Kunto seraya
menatap tajam puluhan, mungkin ratusan mata di hadapannya.
Persyaratan tersebut disambut baik oleh warga,
tak menunggu lama pendudukpun menentukan tiga orang sebagai wakil
mereka. Begitu pun Mbah Kunto yang menunjuk tiga orang lainnya yang
dianggap sangat berpengaruh terhadap warga. Enam orang pilihan tersebut,
selanjutnya bergegas menuju bukit larangan setelah keluar izin langsung
dari mulut Mbah Kunto.
Beberapa jam berlalu, hampir tengah malam saat
keenam orang pilihan tersebut kembali. Penduduk menyambutnya dengan
sangat antusias. Gelap malam yang seolah tak sanggup menutup wajah ceria
dari orang pilihan tersebut, ternyata menular pada penduduk lain yang
ada di tempat itu. Mereka tahu jika warta terawangan itu benar meskipun
kebenaran sesungguhnya belum tersampaikan secara langsung.
"Mbah Kunto memang sakti! Terawangannya benar!" salah seorang yang terpilih berteriak dari kejauhan.
Sontak, seluruh penduduk ikut berteriak meluapkan
kegembiraannya. Sebagian menyanjung akan kesaktian Mbah Kunto, sebagian
lainnya bersyukur atas kelahiran juru selamat yang akan membersihkan
wabah di kampung mereka.
***
Luapan kegembiraan warga, juga berita
tentang lahirnya juru selamat yang tak lain adalah bayi dari Lastri,
dengan cepat menyebar. Berita itupun tak sampai juga ke telinga Mak
Pariyem.
Tertarik pada kebenaran berita tersebut, Mak
Pariyem nekad mendatangi Mbah Kunto untuk mendapati kebenaran. Bukan
masalah kelahiran cucunya yang dianggap sebagai juru selamat, melainkan
kecemasan lain yang telah merambah alam duganya. Dengan profesi yang
ditekuninya selama ini, hitungannya tak mungkin salah. Lastri tak
mungkin melahirkan secepat itu, kecuali dalam keadaan prematur. Dari
segi keselamatan, risiko kematian ibu, anak atau keduanya sangat besar
bagi ibu yang melahirkan secara prematur. Apalagi jika melihat kenyataan
bahwa proses persalinan yang dilakukan tanpa bantuan orang yang
berpengalaman. Begitupun dengan pengalaman si ibu, bahwa kelahiran ini
adalah persalinan pertamanya. Rentetan kecemasan tersebut ternyata
menghasilkan praduga lain yang merujuk pada warna kulit cucunya. Rasanya
tak mungkin jika Lastri dan Bergawa yang memiliki kulit kecokelatan
mendapatkan keturunan yang hitam legam.
Sambil terus bertanya-tanya dalam hati, Mak
Pariyem mempercepat langkahnya. Ia ingin cepat-cepat sampai di tempat
Mbah Kunto. Ia ingin mendapatkan penjelasan tentang apa yang terjadi
sebenarnya. Penjelasan tentang kecemasan dan kecurigaannya selama ini.
Tentang perkawinan anaknya, tentang pengasingan anaknya, tentang
kelahiran cucunya, hingga warta terawangan yang dianggap fenomenal
tersebut. Ia tak lagi peduli jika saja Mbah Kunto menganggapnya lancang,
lantas melampiaskan begitu saja kemarahannya. Ia pun tak lagi peduli
tentang kesaktian yang dimiliki mantan suaminya itu -yang kabarnya hanya
dengan menghembuskan nafas dari mulut, lawannya akan lumpuh layu di
hadapannya. Yang ia pedulikan hanyalah penjelasan dan nasib anaknya
kelak.
Sayang, belum sempat merambah masuk ke area
kekuasaan Mbah Kunto, dua orang murid menghadangnya. Percekcokkan mulut
pun terjadi antara Mak Pariyem dan kedua murid Mbah Kunto. Menurut
mereka, Mak Pariyem adalah satu-satunya orang yang dilarang masuk ke
wilayah tersebut. Mak Pariyem sebenarnya tahu tentang hal itu, namun ia
tetap saja memaksa dengan berbagai alasan. Tekadnya telah bulat, meski
nyawa taruhannya.
Perselisihan itu semakin memuncak, jerit
histerispun tak mampu dibendung dari sosok ibu yang menginginkan
penjelasan tentang anaknya. Saat itulah, terdengar teriakan yang tak
lain keluar dari mulut Mbah Kunto.
"Biarkan dia masuk! Kalian, pergilah!"
Kedua muridnya dengan segera melepaskan
cengkraman pada tangan Mak Pariyem, lalu menjauh dari tempat tersebut
tanpa sepatah katapun yang terucap adri mulutnya.
Mak Pariyem yang berada dalam posisi bersimpuh,
mulai berdiri lalu mendekati Mbah Kunto. Matanya menatap dengan sangat
tajam, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk mengalihkan
pandangannya meski hanya sekedip.
Jauh dari dugaan Mak Pariyem. Tatapan tajamnya,
ternyata dibalas Mbah Kunto dengan senyum yang sangat tulus. senyum yang
bahkan tak pernah ia rasakan selama masih bersamanya dahulu. Sifat
dingin dan bengis yang telah terpatri di benak perempuan itu seakan
luruh begitu saja. Ia tak tahu, sikap seperti apa yang harus ditunjukkan
pada mantan suaminya itu. Meski demikian, ia tak menyurutkan sedikitpun
tekad untuk meminta penjelasan.
***
Di dalam gubug tempat praktiknya, telah
tampak juga Lastri dan Bergawa. Mbah Kunto kemudian menjelaskan dengan
sangat tenang perihal semua peristiwa yang terjadi selama ini. Tentang
perkawinan Lastri dan Bergawa, juga pengasingan mereka, sebenarnya
hanyalah upaya untuk menyembunyikan kehamilan Lastri yang di luar
pernikahan. Lastri ditengarai telah hamil dua bulan saat kembali dari
negeri asing. Penyebabnya, ia mengalami perkosaan dari orang-orang
berkulit hitam di sana.
Kehamilan dan perkosaan itu dianggap sebagai aib
yang tak laik menyebar, karena itu Mbah Kunto menutupnya dengan warta
terawangan tentang kelahiran juru selamat. Tentang waktu kelahiran juru
selamat itu sendiri, bukanlah suatu hal yang sulit untuk memprediksinya
setelah bertahun-tahun hidup dengan seorang paraji.
Perkawinan, warta terawangan dan segala
permasalahan yang dibuatnya, tentunya bukanlah suatu hal yang dilakukan
tanpa melalui pemikiran mendalam. Tidak juga mempertaruhkan keselamatan
orang banyak tanpa solusi pemecahannya. Ia mengungkapkan tentang wabah
yang terjadi di beberapa dusun, adalah murni perbuatannya. Ia
membubuhkan racun yang diramunya pada beberapa sumber mata air. Namun,
iapun telah mempersiapkan penawarnya. Dengan cara itu, ia memanipulasi
pikiran warga bahwa hanya cucunyalah yang sanggup membersihkan wabah
tersebut.
Satu hal yang sangat ia tekankan dalam
penjelasannya, "Aib tetaplah aib. Meski demikian, anak yang terlahir
akibat aib tetap memiliki hak untuk hidup dan dihargai tanpa sedikitpun
celaan. Hanya cara ini yang bisa aku tempuh untuk menyelamatkan hidup
dan kehidupan cucuku." ucapnya lirih sambil menautkan pandang pada
cucunya.
***
catatan:
cerpen ini menginspirasi novel berjudul Lastri
saya juga mau diterawang mbak...eh...mbah. kira kira...saya bakalan jadi selibritis yang sesuatu nggak ya...?
BalasHapuskeren...dari judulnya aja ketahuan siapa yang nulis. membumi dengan nama nama yang akrab di telinga...pokokna mah kang Her banget dah....
saya juga mau diterawang mbak...eh...mbah. kira kira...saya bakalan jadi selibritis yang sesuatu nggak ya...?
BalasHapuskeren...dari judulnya aja ketahuan siapa yang nulis. membumi dengan nama nama yang akrab di telinga...pokokna mah kang Her banget dah....
eeeeaaa, ketahuan, :P
BalasHapusqiqiqqiqi