Jumat, 21 Juni 2013

Kareena

‘Air yang terbendung dan sedang berusaha menemukan celah untuk mengalir’
Kutipan yang terus kuingat dari salah satu akun di jejaring maya. Kutipan yang mungkin saja menunjukkan sisi lain dari pemilik akun berfoto anggrek ungu. Sisi lain yang mungkin juga sama sepertiku.
Aku mencoba memahami, meski hanya tebakan. Menutupi jati diri dengan foto lain, sepertinya adalah cara untuk memperkenalkan identitasnya.

Seperti halnya aku yang menampilkan gambar pena sebagai penunjuk identitas. Pena yang bagiku adalah simbol seorang penulis. Maka seperti itulah caraku memperkenalkan diri tanpa harus menunjukkan jati diri yang sebenarnya.
Karenanya, dengan sangat sederhana aku menduga jika Kareena Nareshwari -pemilik akun tersebut, adalah sosok yang menggemari anggrek ungu.

Bukan juga kebetulan, jika aku memiliki kegemaran yang sama pada tumbuhan bernama Dendrobium tersebut. Tumbuhan yang menempel pada tumbuhan lain. Mungkin seperti itu jugalah keadaannya saat ini, kondisi yang nyaris sama dengan kutipan yang ditulisnya. Terbendung, menempel, hanya menunggu waktu yang tepat untuk melangkah atau berkembang.

***


Entah kali ke sekian aku betah membaca karya-karyanya. Semakin banyak tulisannya yang kubaca, semakin lekat perasaan jika aku mengenalnya. Perasaan yang tak bisa lepas dalam benakku. Betapa tidak, aku kenal sekali caranya bertutur dalam olah kata, begitu pun tema cerita yang diangkatnya. Sama percis seperti Rina, sahabatku.
Karenanya wajar jika aku merasa mengenalnya, merasa dekat dengannya. Ada Rina yang tergambar dalam setiap tulisan Kareena Nareshwari.
Dua tiga paragraf kulewati, hingga mataku terhenti pada satu kalimat tanpa ada keinginan untuk meneruskan bacaanku.

“Tak ada yang salah dengan menengok ke belakang, kecuali mengulangi cara yang sama.”

Sebuah petikan yang tiba-tiba saja menjerumuskan dugaanku, jika Kareena adalah Rina yang kukenal. Rina yang dulu pergi entah ke mana, tanpa sedikitpun memberi kabar, terlebih menunjukkan jejak keberadaannya.
Masih terngiang dengan jelas kata-kata yang sering diucapkannya. Kata-kata yang sama percis dengan petikan tersebut. Kata-kata yang seketika mampu menampakkan wajah Rina yang selalu tersenyum, sekalipun dalam kesusahan.

“Ahh! Di manakah engkau, sahabat?” lirihku dalam hati.

Perhatianku kembali pada tulisan Kareena. Tulisan yang tak lagi ingin kubaca, akibat sederetan kata yang berhasil membangkitkan rasa ingin tahu berlebih, tentang siapa Kareena sebenarnya. Sebagai upaya pembuktian dari dugaan dan kecurigaanku, kubuka laman profilenya. Kutelusuri setiap incinya, namun tetap tak ada petunjuk yang mengarah dan membenarkan dugaanku.

Lelah menduga dan mencari sesuatu yang tak pasti. Kuberanikan diri untuk mengajukan pertemanan. Keberanian yang tiba-tiba saja muncul setelah sekian lama terjegal oleh pertimbangan tak beralasan. Keputusan yang bukan lagi berdasarkan rasa penasaran atau pembenaran. Tapi lebih pada keyakinan jika dia adalah Rina.
***
Ini adalah tahun ke dua semenjak perkenalan kami. Perkenalan maya yang entah kenapa bisa begitu mudah untuk saling membuka diri. Memberikan perasaan nyaman hingga melahirkan kepercayaan.
Rentang waktu yang cukup lama, membuatku tahu bahwa banyak sekali persamaan antara Rina dan Kareena. Meski demikian, aku bisa memastikan bahwa Kareena bukanlah Rina. Begitu pun sebaliknya, Rina bukanlah Kareena.

Aku tahu itu dari caranya yang tulus setiapkali menceritakan identitas dan masa lalunya. Terlebih saat ia mengungkap jika jarak usia kami terpaut cukup jauh. Atau kelapangannya untuk memastikan lewat kesepakatan-kesepakatan yang pernah kami buat untuk bertemu. Meski selalu aku sendiri yang tak punya kesempatan menemuinya akibat jadual yang padat.

Kesalahan dugaan, sepertinya menegaskan jika aku telah benar-benar kehilangan sahabat. Namun, bukan itu masalahnya. Kehilangan tersebut nyatanya tak pernah membuatku kecewa. Sebaliknya,aku merasa bahagia bisa menemukan sahabat baru yang memiliki banyak persamaan.
Kekecewaan yang secara halus dan perlahan terobati oleh pernyataan tulus, bahwa ia sama sekali tak keberatan jika dirinya dipersamakan dengan Rina.
Semisal anggrek ungu yang pasti layu setelah berkembang. Namun di kemudian hari, ia akan menumbuhkan kembang-kembang serupa.

“Sahabat yang pergi memang tak bisa diganti. Maka, anggaplah aku sebagai anggrek yang tumbuh di kemudian hari.” begitu katanya.

Sebuah filosofi tentang kehidupan yang senyatanya tak pernah sama. Selalu ada bagian yang hilang, sementara yang bertahan hanyalah kenangan.
Ya, kenangan. Kenangan tentang Rina yang kini kudapati kembali dari sosok yang lain. Sosok yang selalu mengatakan, “Kenanglah masa lalu, jadikan pembelajaran. Dengan begitu kau akan kuat!”
Ahh… entah sudah kali ke berapa, kesibukanku selalu saja berhasil mengurungkan janji dan niat untuk bertemu. Sedang esok, adalah hari ulang tahunmu. Salah satu di antara hari-hari yang menjadi kesepakatan untuk sebuah pertemuan.

Satu hal yang terus kuingat adalah, doa-doa dan harapanmu tentangku. Bahwa kelak akan dikirim lelaki surga untukku, yang mengasihiku, membahagiakan hidupku, menutup dalam luka-luka masa lalu.
Maka, di hari ulang tahunmu ini. Kuberikan sesuatu sebagai hadiah kecil, bahwa doa dan harapan tulusmu, mulai menunjukkan kenyataan. Semoga kau bahagia, seperti kebahagiaan yang kurasakan saat ini.

Selamat ulang tahun Kareena Nareshwari.

*Tulisan sebagai hadiah Ulang Tahun untuk Kompasianer DyahRina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar