Selasa, 25 Juni 2013

Satu Bintang Buat Na

"Pagi-pagi dah ngajak ribut....maumu apa sich ?" terdengar suara papa menggelegar
"Yang ngajak ribut tuh siapa, hah ? kamunya aja yang kelewat sensi menanggapi omonganku, makanya kalo di ajak ngomong yang konsens dunk, biar gak salah tanggap...!" mama menyahut tak kalah kerasnya pula.

***


Aku hanya bisa diam termangu di balik pintu. Bosan dengan pemandangan ini, setiap hari. Ingin sekali mengakhiri semua, tapi bagaimana caranya. Mereka bahkan tak pernah mau merendahkan ego masing-masing sedikitpun, untukku, putrinya.
Tak tahan mendengar teriakan mereka yang semakin keras, aku keluar kamar. Sengaja ku tutup pintu keras-keras. Mereka segera diam. Ku tatap tajam keduanya, bergantian, tak ada yang mengeluarkan suara
Kuseret langkah menuju pintu keluar. Pak yanto, supir kami, pasti sudah menunggu di depan untuk mengantarkan aku ke sekolah.

Di mobil aku menangis.
Aku merindukan saat-saat lalu, ketika rumah sederhana kami berhias cinta dan kedamaian. Tak ada teriakan, semua sangat manis.
Hingga karier papa melejit, bukan  lagi pegawai biasa. Memimpin satu departemen besar. Dan sibuk dengan berbagai proyek dan urusan. Lalu mama mulai kesepian. Mencari kesibukan di luar, berbisnis barang-barang mewah bersama teman-temannya, dan mulai masuk dalam pergaulan kaum jetset.
Meninggalkan aku, tak peduli padaku.
Aku hanya punya mbok Nem, punya pak Yanto. Merekalah yang jadi orangtuaku sebenarnya.
Merekalah yang membuat aku bertahan, selalu ingat pada Tuhan, dan tidak terpengaruh dengan pergaulan teman-teman yang mulai tak karuan.

Aku tak pernah punya pelukan hangat dari mama, aku tak lagi merasakan damainya bersama papa.
Aku hanya punya mereka berdua. Mbok nem yang menemaniku saat aku sakit, memelukku penuh kasih, mencurahkan naluri keibuannya utuh untukku.
Knapa Tuhan ijinkan ini padaku ??
"Mbak Na... udah sampai. kok nangis...ada apa ?" pak yanto mengulurkan box tissue padaku. Aku masih terisak menutup muka.

"Mbak Na yang sabar ya...pasti ada jalan keluar buat mama dan papa mbak Na. Sekarang masuk sekolah dulu, ntar telat. buruan gih, di lap dulu airmatanya. Ntar cantiknya ilang lho..."

Aku mengambil beberapa lembar Tissue, menyeka airmata, dan tersenyum padanya.

"Nah, gitu kan cantik...hehehe, ini kado ultah buat mbak Na, dari bapak dan mbok Nem.Selamat ulang tahun ya, sehat selalu dalam lindungan Allah, aamiin. Kadonya sederhana mbak, semoga mbak Na suka ya.."

Bergetar ku terima kado mungil itu. Airmataku menetes lagi. Bahkan mereka sibuk berantem, lupa hari ini aku berulang tahun.

"Makasih doa dan kadonya pak... aku masuk dulu ya." Bergegas aku keluar mobil, hatiku bahagia, tapi sekaligus perih, aku kecewa padamu ma, pa...

Malam hari di tepian kolam renang...
Duduk sendiri, memandangi air yang ikut menghitam karena penerangan yang temaram. Tak ada yang istimewa di ultahku yang ke 16. Aku tak meminta banyak pada Tuhan, hanya inginkan masa manis itu kembali padaku. Tanganku menggenggam satu lipatan kertas berbentuk bintang, hanya satu. karena memang hanya satu permintaan yang ku punya. Aku masih punya harapan, dan aku tak akan lelah memintanya padaMu.


"Na..."
Aku menoleh, mama dan papa...
Mereka duduk di sebelahku masing-masing.

"Selamat ulang tahun ya sayang...maaf, mama dan papa lupa akan hari istimewamu..." mama membuka suara.
Aku tetep diam. Tak menyahutnya.

"Kamu mau di rayakan dimana, sayang ?" kali ini papa yang buka mulut.

Aku masih diam saja. Ada rasa kesal yang sangat dalam di hatiku, tapi tetep ku tahan.
"Sayang...kenapa diam saja ?"

Kupandangi mereka bergantian. Orang-orang terkasihku yang seharusnya paling ingat hari istimewaku.

"Aku tidak minta apa-apa, ma..pa.. Hanya satu permintaan, bisakah mama dan papa mengembalikan hari-hari manisku yang dulu. Hari-hari yang damai bersama kalian. di rumah kita yang sederhana. Rumah yang tidak ada teriakan kencang di pagi buta, rumah yang penuh kasih sayang dan bukan hanya melulu soal uang !  Bisakah mama dan papa mewujudkan itu untukku??"


Ku sodorkan bintang di tanganku kepada mereka. Lalu perlahan beringsut, ku tinggalkan mereka dalam diamnya. Entah apa yang mereka pikirkan. Aku memberikan kesempatan pada mereka untuk menelaah kembali permintaanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar