"Aku mau putus...." lirih kataku seakan tersangkut di tenggorokan
"Apa?? Kamu serius Re? Kamu gak sedang ngigau kan?"
Suara Wisnu menggelegar seakan ingin mengalahkan debur-debur ombak nun
jauh disana. Aku diam, hanya mampu menatapnya. Jangan kira aku tak sakit
saat mengucapkannya,Wis. Sakiiiitt sekali, jauh melebihi rasa sakit
saat mendengar vonis dokter seminggu yang lalu. Aku bahkan memerlukan
waktu berhari-hari untuk mengumpulkan keberanian dan mengatakan ini
kepadamu.
"Aku justru sedang sadar sesadar-sadarnya Wis..."
"Kita akan cari jalan keluarnya Re, vonis dokter itu tidak mutlak, dia bukan Tuhan..."
"Aku tahu, tapi ini real, Wis. Aku gak mau mimpi dan melambungkan angan-angan dengan harapan yang aku sendiri tak yakin"
"Please...jangan keburu menyerah. Aku sedang mencari jalan keluar. Bertahanlah demi aku...aku mencintaimu Re,teramat sangat "
"Aku tak sempurna, juga sebagai wanita. C'mon...kamu putra
satu-satunya, aku gak akan bisa membantumu meneruskan trahmu, klan-mu.
Aku gak akan bisa.Apa kata keluargamu nanti ? Aku tak akan sanggup
menghadapi itu, Wis..."
"Kamu tega mengorbankan semua, Re ? Setelah sekian tahun kita berjuang bersama dengan hubungan ini. kamu...."
Tak sanggup aku berkata-kata lagi. Aku memeluknya erat. Wisnu adalah
kekasih, sahabat, dan segalanya. Aku menemukan semua yang aku cari
tentang seorang pria padanya. Tapi aku sungguh tak sanggup menerima
kenyataan ini. Aku tak mampu membalas semua kebaikannya, kesempurnaanya.
Setelah dokter memvonis ada yang tidak beres dengan rahimku. Aku tidak
akan bisa hamil. Aku tidak bisa mewujudkan impian seorang suami, anak !
Miom itu sudah sedemikian besar, dan tidak ada jalan lain selain
pengangkatan rahim. Aku menyesal sekali mengabaikan jadwal menstruasiku
yang tidak teratur. Seandainya aku cepat tanggap, ini pasti masih bisa
di atasi. Aku harus merelakan rahimku dan menerima kenyataan, menopause
datang lebih dini. Tapi masihkah berguna penyesalan itu sekarang ? Meski
harus ku tebus dengan kehilangan Wisnu.
"Istirahatlah Re.. Jangan terlalu banyak fikiran. Aku mengasihimu, selalu...Aku pulang dulu ya...take care."
Ini hari ke enam, aku mengasingkan diri di sini. Setiap hari memandangi
ombak, menghadang sunset. Sendiri, merenung. Berusaha mengeja apa yang
Tuhan sedang ujikan padaku. Menyiapkan hati dan berusaha berdamai.
Jika
aku sudah diberi kebahagiaan selama ini, lalu kenapa tidak dengan miom
ini ? Aku mestinya bersyukur. Ada orang yang terenggut impiannya sebelum
mereka pernah bermimpi bahkan.
Aku sudah diberi kesempatan sekian
tahun, aku mesti berterimakasih. setidaknya aku sempat mengenyam
semuanya.
Harus move on !! Aku masih hidup, meski tanpa rahim. Meski
mungkin juga tanpa Wisnu...:-(
Aku menyalakan hapeku, tak ada pesan. tak ada notif apapun disana.
Kemana Wis ??
Aku tak mampu mengelak jika aku sangat merindukanmu.
Teramat sangat bahkan.
Sore ini, aku duduk disini lagi. Berjanji bahwa ini adalah hari terakhir
untuk semua airmata. Aku mesti kuat untuk menjalani operasi itu. Juga
menyiapkan hati, jika Wisnu pun akan menjadi sebuah kenangan saja.
Sedikit lega rasanya, mencoba tersenyum, menatap senja yang bergulir
sangat cantik sore ini. Seandainya kamu ada disini...
"Rea..."
Sebuah suara yang sangat ku kenal...Wisnu!
Aku segera menoleh,
mengerjabkan mata. Tak percaya dengan apa yang ku lihat. Iya..
benar-benar Wisnu.
"Darimana kamu tahu aku ada disini, Wis?"
"Mama yang bilang, aku memaksa untuk menyusulmu. Ada yang mesti aku bicaraka."
Deg....deg...deg...
Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Tuhan,
beri aku kekuatan. Aku ingin mengakhirinya dengan indah, jika memang
semua harus berakhir hari ini.
Wisnu duduk di sebelahku, kami sama-sama menghadap laut. Terdiam sejenak
menikmati debur-debur itu. Barangkali juga berusaha meredam semua rasa
di hati.
"Aku siap menerima kenyataan Wis. Cinta itu tak berubah, meski jika kita tak pernah bersama."
Aku membuka kalimat, menatap wajahnya lekat. Oh.. Tuhan, mungkin ini
saat-saat terakhir aku bisa memandanginya dengan leluasa. Barangkali
esok sudah lain cerita. Ku dengar Wisnu menghela nafas.
Aku semakin yakin yakin akan putusan yang di ambilnya... Perpisahan, ya sebuah perpisahan.
"Aku mencintaimu Re..."
"Aku pun sama, tapi kita mesti realistis...Wis "
"Iya, dan aku juga sudah mengambil putusan, Re...."
Aku diam, kita diam. Aku mencoba tersenyum.
"Aku telah memilih, untuk tetap mendampingimu, dengan semua kondisi
yang ada padamu. Aku memerlukanmu, jauh melebihi kebutuhanku akan
kantong rahim-mu."
Ya tuhan...tidak salah dengarkah aku?? Ku pandangi lekat matanya. Wisnu
segera meraihku, memelukku erat. Seolah tak pernah ingin jauh dariku.
Aku tak mampu berkata-kata, hanya bulir-bulir airmata yang mewakilinya.
"Kita bisa mengadopsi anak sebanyak-banyaknya Re.. bair rumah kita
nanti ramai. Sekarang kita pulang, kita mesti siapkan operasimu, aku mau
semua berjalan lancar."
Terima kasih tuhan...Inikah balasan untuk sikap ikhlasku? Pasrahku pada apa yang telah Kau gariskan.
Aku tak mampu menjawab semua ucapan Wisnu, hanya pelukan yang ku berikan, semakin erat.
Bolehkah aku meminta sedikit padaMu,Tuhan.
Jangan biarkan senja ini berlalu dulu, aku
ingin menikmatinya sedikit lebih lama. Bersama Wisnu, Muara cintaku.
Apik......wis tau maca tapi tetep pgn bilang apik.....miss u...big hug.
BalasHapuseh.....inbox aku di K alamat email baru ya. Ada puisi puisimu yang mau kukirim balik. Mereka nemplok ama cerpwn atau cermin sedang tisane mau kuhapus permanen. Kamu posting aja di sini.......
hapus aja mbak, gak papa. Udah aku save ke documen kok.
BalasHapus