Sabtu, 29 Juni 2013

Arwah



Sewaktu kecil, ibu selalu melarang untuk tidak keluar saat malam. Suasana yang gelap menjadi alasan utamanya. Alasan lain adalah di luar banyak setan atau makhluk halus yang selalu menggoda manusia. Sebagai seorang anak, saat itu aku sama sekali tidak tahu apa hubungan antara malam, gelap dan setan. Bahkan hingga saat ini saat usiaku menjelang tujuh belas tahun, aku sama sekali tidak menemukan adanya keterkaitan antara konsep-konsep abstrak tersebut. Satu hal yang membuatku patuh saat itu hanyalah kata takut. Sebuah kata yang memang ditujukan untuk menakutiku dan sebagian besar anak kecil lainnya agar tidak bermain di malam hari. Sayangnya, kebanyakan anak kemudian tumbuh menjadi orang-orang yang takut pada malam dan gelap.


Selama masa pertumbuhan, aku sering mendengar cerita dari beberapa orang yang mengaku pernah mendapati keberadaan setan, hantu, jin, genderwo atau makhluk lainnya. Walau tak sedikitpun aku meragukan keberadaan makhluk kasat mata tersebut, aku tak yakin jika cerita mereka benar seluruhnya. Umumnya cerita itu terjadi pada malam hari. Cerita mereka seolah mempertegas bahwa setan memang selalu keluar pada saat tersebut. Satu penjelasan yang seolah menjadi logis bahwa makhluk tersebut takut pada sinar matahari dan akan terbakar jika terkena sedikit saja dari sinarnya.

Setan yang terbakar oleh sinar matahari! Pernyataan yang cukup menggelitikku. Sebuah  penjelasan yang sama sekali tidak menjelaskan, terkesan aneh, bahkan menurutku sangat aneh. Betapa tidak, aku ingat pelajaran agama sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah dahulu bahwa setan diciptakan dari api. Apa mungkin api bisa terbakar mengingat sifatnya yang seharusnya membakar? Entahlah, apa yang salah dengan semua ini, mungkin cara berfikirku saja yang salah karena sedikit berbeda dengan yang lain. Mungkin juga logika sederhana dari seorang yang putus sekolah sepertiku memang tidak bisa diterapkan pada hal-hal yang bersifat gaib.

Semenjak kecil, aku sama sekali tidak pernah merasa takut akan keberadaan makhluk-makhluk tersebut. Melihat mereka bukanlah hal aneh bagiku, bahkan di siang bolong sekalipun. Bagiku, mereka jauh dari gambaran orang yang menakutkan, banyak diantara mereka yang terlihat sama seperti kita. Memang tidak jarang pula yang menunjukkan dirinya dengan wujud yang menyeramkan. Beberapa memiliki wajah rusak atau garang dengan bulu tebal di sekujur tubuhnya, taring yang menyeringai dengan liur kental yang melendir, hingga tak memiliki wajah sama sekali. Namun, sepengetahuanku wujud yang mereka tampakkan selalu sama dengan apa yang kupikirkan. Mereka akan berwujud menyeramkan jika aku berfikir demikian. Begitupun sebaliknya, mereka akan tampak seperti kita jika aku berfikir seperti itu. Kenyataannya adalah semua bentukan selalu terjadi akibat proses imajinasi.

Keanehan lain yang kusadari adalah aku bisa melakukan percakapan dengan mereka kapanpun dan dimanapun. Setiap orang yang melihatku bercakap selalu menganggapku gila. Mereka selalu mengira jika aku berbicara, tertawa bahkan marah sendiri. Mungkin itu juga salah satu sebab mereka menjauhiku, kecuali keluargaku yang menganggap hal tersebut sebagai kelebihan yang kumiliki.

Satu hal yang selalu membuatku takut adalah hari ulang tahunku. Kusadari beberapa hal semenjak dua tahun yang lalu saat meninggalnya adikku. Salah satu peristiwa yang bertepatan dengan hari ulang tahunku. Entah, apakah ini hanya sebuah kebetulan atau sebuah kutukan seperti yang diributkan orang-orang di kampungku. Aku sadar, selalu ada kematian yang mewarnai hari ulang tahunku. Runutan kejadian yang aku ingat dimulai dari kematian nenek, beberapa saudara sepupu, ibu, adik dan terakhir adalah ayahku. Mereka meninggal di saat yang sama dengan hari kelahiranku. Aku ingat, mereka yang meninggal adalah orang-orang yang di hari itu sering mengajakku bicara atau sangat dekat denganku. Tapi aku tak pernah tahu bagaimana mereka bisa meninggal. Ya, aku tak tahu karena tak ada yang mau memberi tahu. Semua bungkam saat kutanya itu.

Tragedi tahunan yang kualami, sepertinya telah lama disadari oleh warga kampung. Hal itu tentunya membuat mereka resah. Puncaknya adalah tahun lalu, sesaat setelah ayahku dimakamkan. Tanpa perasaan, mereka mengusir aku dan adikku untuk meninggalkan kampung. Beruntung, saat itu kakek dan paman sebagai saudaraku yang tersisa bisa meredam emosi warga. Entah apa yang telah dijanjikannya, yang jelas mereka tunduk dan patuh pada ucapan kakek. Beliau memang dianggap sebagai sesepuh kampung, beliau adalah generasi ke lima dari pendiri kampungku.

Bagiku, meninggalkan kampung bukanlah masalah besar tapi tidak untuk adikku yang saat itu masih berusia tiga tahun. Aku sadar, di usiaku yang sangat muda tersebut tak mungkin bisa menjaga dan merawatnya tanpa bimbingan orang yang lebih tua. Akibat dari peristiwa itu pula aku semakin diasingkan dari lingkungan sosial. Keterasingan membuatku memutuskan untuk menjadikan makhluk-makhluk yang hanya dapat kulihat sebagai sahabat sekaligus pelindungku. Keputusanku itu semata-mata kulakukan kerena aku tak lagi memiliki teman untuk diajak berbicara dan bermain.

Semua kejadian tersebut membuatku percaya bahwa semua yang kualami bukanlah suatu kebetulan, melainkan kutukan. Pertanda lain yang membuatku percaya adalah tanda hitam di dada kiriku yang menyerupai memar. Aku ingat memar ini awalnya hanya berupa titik-titik kecil. Seiring bertambahnya usia, memar di tubuhku semakin jelas dan terlihat menyerupai telapak tangan dengan ruas jari yang sangat panjang.

Tanda lahir yang akan terus melekat di tubuhku ini, selalu terasa panas di saat-saat tertentu. Terutama saat malam pergantian usiaku, rasa panas itu tak pernah bisa kutahan dan selalu bisa merenggut alam sadarku. Aku tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri, yang jelas saat kesadaranku kembali, selalu terdengar isak dan jerit tangis dari keluargaku sebagai pertanda adanya kematian.

Pertanyaan mendasar yang kemudian timbul adalah, siapa yang mengutukku dan kenapa aku dikutuk? Tak seorangpun yang bisa atau mau menjawab, tak terkecuali kakek dan pamanku.
* * *
Tahun ini, aku mencoba membuktikan diri terhadap teori kutukan yang menimpaku. Aku sengaja menghindar dari orang-orang, terutama dari orang yang kukenal. Tujuanku adalah sebuah gubug pinggir danau di tengah hutan. Tempat yang sering kukunjungi bersama ayah semasa hidupnya. Tempat yang jauh dari cacian, hinaan dan cibiran orang-orang yang selalu memojokkan dan menafikkan keberadaanku.

Aku pergi di tengah hujan yang tak kunjung mereda. Perjalanan selama dua jam, hampir membawaku ke tempat tujuan. Suasana semakin meremang, mentari yang enggan muncul sejak siang tadi pun telah sempurna bersembunyi di antara dua bukit yang berdiri kokoh di hadapanku. Tetesan air di pepohonan sisa hujan, ditambah balutan kabut yang mulai turun, membuat tubuhku sedikit gemetar menahan dingin. Sambil terus berjalan, aku mencoba mengusir dingin dengan menggosok-gosokan kedua telapak tangan, meniupnya lalu menempelkannya menutupi telingaku.

Setapak licin yang banyak tertutup rerimbunan karena jarang dilewati terus kutelusuri. Rerimbunan itu kerap menjegal langkahku, seolah mencegah agar aku tidak masuk lebih dalam menuju suasana hutan yang jarang dilintasi tersebut. Langkahku terhenti tepat di percabangan setapak, di hadapanku terlihat dua pohon besar yang mengapit setapak. Entah kenapa aku selalu merasa jika kedua pohon tersebut adalah pilar kokoh penyokong sebuah istana yang megah. Aku yang hapal betul wilayah tersebut tahu jika itulah gerbang masuk tujuanku. Di balik dua pohon itu adalah turunan terjal, jalan terakhir yang harus kutempuh sebelum sampai di tempat tujuan.

Tepat di antara dua pohon yang mengapit jalanku, aku kembali terhenti. Binar sorot mataku tertuju pada danau kecil yang sudah tertutup kabut. Namun sesuatu yang janggal terjadi. Suasana sekitarku mendadak hening, jeritan serangga yang kudengar sepanjang jalan tiba-tiba saja menghilang. Pemilik jeritan dan penghuni lain seolah menyadari kedatangan sesosok makhluk asing ke tempatnya. Dingin, sunyi, senyap itulah yang kurasakan, tapi aku tak akan mundur hanya karena suasana seperti itu. Tak seberapa lama mereka kembali menjerit dan bernyanyi, seolah mengabaikanku dan tahu jika aku bukanlah ancaman.

Setelah menuruni setapak terakhir, aku berjalan menyisir danau menuju gubug gelap yang berdiri tepat di tepi danau. Aku menatap gubug yang hanya beberapa langkah lagi di hadapanku. Tepat di depan gubug, kupandangi beranda mukanya yang tak sedikitpun berubah. Sesaat kemudian aku meniti tangga kayu sambil mencabuti beberapa ilalang yang tumbuh menutupi titianku.

Pintu gubug terlihat sangat rapat walau tak pernah terkunci. Hanya dengan sedikit dorongan saja, pintu itupun terbuka dan mengeluarkan suaranya yang khas. Suara geritan kayu yang saling beradu terdengar sangat panjang saat pintu itu terbuka secara perlahan. Hawa dingin dan lembab mengeruak keluar, mengiringi suara menggaung yang merambat melalui ruang-ruang kosong dalam gubug. Suasana getir dan hampa seolah menyambutku untuk mengisi bangunan kosong tak bertuan itu.

Seperti halnya orang yang sudah terbiasa masuk ke suatu tempat, dalam keadaan gelap tanganku menggapai lampu tempel yang biasanya menggantung tak jauh dari pintu. Lampu itu memang masih ada walau kurasakan debu tebal telah menyelimutinya. Tanpa banyak berfikir, aku menyalakan lampu tersebut dengan geretan yang sesaat lalu kurogoh dari saku celanaku.

Nyala api yang terpancar dari lampu kusam seketika menerangi ruangan, mataku pun mulai liar memperhatikan keadaan sekitar. Sepertinya tak ada seorangpun yang pernah berkunjung. Bahkan plastik bekas makanan pun masih berada dalam keleng bekas yang sengaja kujadikan asbak setahun lalu. Kaleng itu kini masih tetap di atas meja panjang yang hampir melintang di tengah ruangan. Seluruh benda yang ada di ruangan pun masih tetap berada di posisinya, sama seperti saat kami tinggalkan dulu.

Tubuhku yang masih terlapasi pakaian basah, mulai menggigil, jemariku semakin terasa kaku dengan kerutan pucat yang semakin memanjang dan menebal. Secepatnya aku menyalakan perapian untuk mengembalikan suhu tubuhku yang mulai turun. Tak perlu waktu lama untuk bisa membuat api dengan kayu kering yang tertumpuk di dekat tungku tersebut. Kutanggalkan seluruh pakaian dan kuganti dengan pakaian kering yang kubawa dalam tasku, kemudian mencoba untuk menghangatkan diri.

Panas api yang meresap ke badanku mulai terasa panas, aku membalikkan tubuh untuk menghangatkan punggungku. Saat itulah aku melihat dua sinar berwarna hijau, sinar yang keluar dari sepasang bola mata yang tengah menatapku liar. Mata itu mengawasiku tepat di tengah jendela tak berkaca. Jelas aku terperanjat, terlebih pada sorotnya yang mengirimkan aura buas dan siap menerkam kapanpun. Tatapannya semakin tajam, ia mulai menyeringai memperlihatkan taringnya sambil mengeluarkan geraman. Geraman demi geraman semakin terdengar bernafsu seolah ingin menunjukkan jika aku sedang menempati wilayahnya.

Detak jantungku semakin cepat, aku bisa merasakan aliran darahku yang semakin memanas. Aku mulai panik, tapi mencoba bersikap tenang dan berusaha mengendalikan keadaan. Perlahan aku berdiri, bergerak sedikit demi sedikit mendekati tumpukkan kayu bakar. Aku berfikir jika kayu itu adalah satu-satunya senjata yang bisa kugunakan jika tiba-tiba saja ia menyerangku.

Aku berusaha untuk memalingkan wajah, namun mataku tetap tertuju padanya. Ia yang terus memperhatikan setiap gerakkanku, nampaknya sadar jika aku mulai terpojok. Sesaat, ia berhenti menggeram. Aku memberanikan diri untuk kembali menatapnya dan mulai merasa jika tatapannya tak sebuas sebelumnya. Walau demikian, aku harus tetap siaga dalam posisiku. Aku tahu yang kuhadapi saat ini hanyalah seekor kucing hutan, tapi aku sadar binatang kecil yang liar itu mampu mencabik kulitku hanya dengan cakar dan taringnya jika aku lengah. Apalagi aku memasuki wilayahnya, ia pasti akan mempertahankan wilayahnya apapun yang terjadi.

Sesuatu yang kupikirkan terjadi, binatang itu mulai melompat ke atas meja panjang. Meja itu memang tak jauh dari lubang jendela tempat kemunculannya. Posisiku masih terlalu jauh untuk bisa memukulnya dengan batangan kayu bakar yang telah kugenggam. Namun, di luar dugaanku ia hanya diam dan duduk sambil terus menatapku. Geraman yang kudengar tadi seketika berubah menjadi deru nafas kucing yang kering dan berat. Seperti kucing rumahan, ia hanya duduk diam menunjukkan keluguannya seolah menanti belaian halus pemiliknya.

Syaraf tegangku mulai mengendur, kuberanikan diri untuk mendekatinya. Perlahan-lahan, setapak demi setapak akhirnya langkahku terhenti tepat di depannya. Seakan tahu jika aku masih ragu, kucing itu memalingkan wajahnya memberikan kesempatan bagiku untuk menyentuh dan membelainya.

Kucing liar yang tak seliar dugaanku. Begitu pikirku saat tangan ini bisa dengan bebas menjamah dan mengelusnya. Sepertinya ia pun menikmati setiap belaian lembut dari tangan kasarku. Setiap kali kuhentikan belaian, ia selalu menggosokkan bulu-bulu lehernya pada telapak tanganku seolah melarangku untuk berhenti. Aku senang di malam pertama pengasinganku, masih ada makhluk yang mau menemaniku.

Kucing liar yang baik, seketika itu kuanggap sebagai sahabat. Aku mencurahkan segala kekesalanku padanya, walau aku tahu seekor kucing tak akan mampu membalas setiap perkataan dan pertanyaanku. Namun dari sikap yang ditunjukkannya aku yakin jika ia mengerti akan perasaanku. Aku mulai berfikir jika ia sama denganku, dalam kesendirian selalu membutuhkan teman. Teman untuk bercerita dan berbagi.

Malam yang semakin larut berpadu dengan lelah yang kurasakan. Aku pun merebahkan diri di dekat perapian yang telah kubuat lalu tertidur dengan pulasnya. Saat terbangun, aku kembali terkejut mendapati kucing yang semalam kubiarkan di atas meja, kini berada dalam pelukanku. Mungkin kucing itu mencari kehangatan lain dari suhu tubuhku, atau mungkin juga kucing itu bermaksud untuk menjaga suhu tubuhku dari dinginnya malam di tepian danau.
* * *
Dua malam kulalui dengan sahabat baruku. Siang sebelum malam penutupan usia ke enam belas tahunku, aku masih saja sibuk mengecek beberapa benang pancing yang telah kutebar di sepanjang pesisir danau. Malam nanti seharusnya adalah malam yang kutakuti, tapi aku merasa bahagia karena tak ada lagi orang yang mungkin mati tanpa sebab akibat pengaruh kutukanku.

Aku mulai merasa jika tanda hitam di dada kiriku mulai memanas dan semakin memanas. Aku tahu tinggal beberapa jam lagi, rasa panas di dadaku tak akan sanggup kutahan. Rasa panas itu semakin menjadi, bahkan dinginnya air danau yang seharusnya bisa membekukan aliran darah pun tetap tak mampu meredakan rasa panas di dadaku. Aku mencoba untuk kuat dan pasrah, berharap bahwa semua pasti berlalu.

Beberapa ikan yang berhasil terpancing, kubawa ke dalam gubug lalu kuletakkan begitu saja di hadapan sahabat baruku. Aku merebahkan diri sambil menahan rasa panas yang ternyata datang lebih awal. Tak kuasa menahan panas, aku menjerit dan meronta. Namun semakin aku menjerit, rasa panas itu semakin kuat. Semakin kuat aku meronta, rasa panas itu semakin menyebar, hingga akhirnya kesadaranku pun hilang.

Seperti biasa aku tak tahu berapa lama telah kehilangan kesadaran, yang kutahu aku terbangun tanpa terdengar isak dan jerit tangis kematian. Aku tersentak saat kesadaranku belum peluh sepernuhnya. Aku tengah berada di tempat lain yang dikelilingi oleh pepohonan yang sangat tinggi. Dedaunan yang sangat lebat, sempurna menghalangi masuknya sinar mentari. Suasana remang yang cenderung gelap membuatku berfikir jika hari akan berganti malam. Aku bingung oleh keadaan saat itu, tapi kebingungan itu seolah tertutupi oleh perasaan senang karena ulang tahunku tak lagi merenggut korban.

Berbekal sedikit perasaan senang itu, aku berniat kembali menuju gubug. Aku ingin sahabatku tahu bahwa tahun ini tidak ada korban yang jatuh. Keadaan hutan di sekitarku terasa sangat asing, sepertinya aku tersesat. Saat itu juga kusadari bukti baru bahwa selama kehilangan kesadaran aku tidaklah pingsan. Ketakutan lain tentang diriku muncul, mungkin saja tubuhku dikendalikan oleh makhluk lain saat tak sadarkan diri. Ketakutanku semakin merujuk pada dugaan peristiwa masa lalu. Mungkin juga makhluk yang mengendalikan tubuhku telah membunuh orang-orang terdekatku di tahun-tahun sebelumnya.

Dugaanku terus mengarah ke sana. Alasan utama yang memperkuat dugaan itu adalah setiap orang yang kutanya selalu bungkam dan tak pernah mau menceritakan peristiwa kematian sesungguhnya. Selain itu, aku tak boleh menghadiri pemakaman. Semuanya terasa tak lazim dan terkesan terburu-buru.

Aku diam dan merasakan ketakutan tanpa sebab yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku bahkan takut untuk kembali pulang, aku takut jika semua dugaanku benar, aku takut untuk menjalani sisa kehidupanku. Aku takut karena ada sosok lain yang mengekang kesadaranku dan siap menerkam siapa saja saat ia mengendalikanku. Aku takut karena aku adalah seorang yang terkena kutukan tanpa tahu sebab musababnya.
* * *
Waktu sepertinya berlalu dengan cepat. Beberapa cahaya terlihat berusaha untuk menembus kanopi hutan yang tebal. Berjam-jam lamanya aku duduk terpaku dengan lamunan tak berguna. Mataku seketika teralih pada sebuah gerakan yang menggugah kembalinya semangatku. Dari posisiku, samar-samar terlihat seseorang yang turun dari atas bukit dengan kayu-kayu kering di punggungnya. Aku tahu jika ia adalah seorang perambah hutan yang mencari kayu bakar. Itu berarti, ada perkampungan yang seharusnya tak jauh dari tempatku.

Aku berusaha mencuri perhatian dengan meneriakinya, tapi ia sama sekali tak mendengar. Aku berfikir tak mungkin jika teriakanku sampai tidak terdengar, kecuali jika ia tuli. Akhirnya kuputuskan untuk mengejarnya. Namun perpaduan antara jarak yang jauh ditambah gerakannya yang sangat cepat juga medan yang sangat berat, membuatku kehilangan sosoknya di balik rerimbunan.

Walau demikian, aku lega karena kutemukan juga setapak jalan yang mungkin akan membawaku menuju perkampungan yang kukenal. Benar saja, setelah beberapa jam kutelusuri setapak itu, aku menyadari jika yang kulalui adalah setapak yang kukenal. Setapak yang memang menuju salah perkampungan, namun bukan kampung yang kulewati untuk menuju danau itu. Bahkan arahnya pun berlawanan, itu berarti aku berada dalam hutan di gunung yang lain. Lalu bagaimana aku bisa berada di gunung ini? Berapa lama pula aku kehilangan kesadaran hingga berada pada jarak yang sangat jauh dengan tempat terakhir saat aku sadar? Semuanya membuatku semakin bingung, satu hal yang kupikirkan saat itu adalah kembali pulang.

Sepertinya orientasiku terhadap medan telah kembali, tapi aku kembali dibingungkan oleh disorientasi waktu yang kualami. Sesaat lalu aku mendapati cahaya matahari yang menembus kanopi, namun setelah kutemui perkampungan, suasana masih saja remang. Tak mungkin aku berjalan selama seharian penuh, karena yang kurasakan tadi tak sampai sejauh itu. Kucoba untuk menepis pikiran itu lalu bergegas menelusuri kampung dan kembali ke rumahku.

Di tengah perkampungan, aku merasa janggal dengan suasana yang terjadi, suasana malam yang ramai namun terasa begitu damai. Sepanjang jalan kutemui sosok-sosok yang menatap dan menyapaku ramah, tapi aku tahu mereka bukanlah golongan bangsaku. Mereka hanyalah sekumpulan makhluk-makhluk yang hanya dapat kulihat dan kutanya.

Tepat tengah malam, aku tiba di rumah. Seperti biasa, keadaannya kosong dan gelap, tak ada penerangan sedikitpun. Anehnya, aku merasa enggan untuk sekedar menyalakan lampu tempel yang menjadi sumber penerangan bagi rumahku juga seluruh rumah di kampungku. Walau demikian aku memperoleh ketenangan dalam keadaan tersebut. Dalam tenang aku pun tertidur.

Esoknya, aku berniat mengunjungi kakek dan menengok adikku. aku ingin menceritakan seluruh peristiwa yang kualami. Peristiwa bahagia juga keanehan-keanehan lain yang tak pernah kualami sebelumnya. Kupacu langkahku dengan semangat yang menggebu, berharap sisa keluarga yang kumiliki ikut merasakan kebahagiaanku.

Sesampainya di pekarangan, aku sedikit kaget melihat pertumbuhan adikku. Ia terlihat sedikit lebih besar dibanding pada saat terakhir aku melihatnya. Maklum, selama ia dirawat kakek aku jarang sekali menemuinya. Adikku tampak senang saat melihat kedatanganku. Ia berteriak sambil melambaikan tangan ke arahku. Aku bergegas menghampirinya, namun satu hal yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadi. Hal terpahit yang aku alami sepanjang ingatanku. Kakek berteriak dan menyuruh paman untuk menarik tubuh adikku ke dalam. Beberapa detik kemudian, paman kembali keluar dan menyerahkan sebuah benda yang terbungkus kain putih pada kakekku. Aku tahu dalam bungkusan itu adalah keris pusaka leluhurku.

Seperti halnya orang-orang pintar yang sedang mengusir setan, kakek mengucap mantera lalu menghunuskan kerisnya ke arahku. Aku semakin heran, tanpa alasan dan sebab yang jelas ia menyuruhku pergi dan jangan kembali lagi. Yang membuat hatiku sakit adalah kakek mengusir sambil berulang kali menyebutku setan. Tanpa memberiku waktu untuk bertanya dan meminta penjelasan, ia mendekat sambil terus menyabit-nyabitkan kerisnya.

Saat itu juga aku pergi tanpa tujuan berbekal sakit hati yang tak mungkin kulupakan. Aku berlari dan berlari, hingga tersadar aku telah berada di dalam hutan tepat diantara dua pohon besar yang menjadi gerbang menuju gubug di pinggir danau. Entah apa yang membawaku ke tempat itu. Aku duduk melemas memandangi danau yang tampak kehijauan sambil meratapi kebingungan dan kekecewaan yang terus menyesak.

Tanpa sebab, sesosok bayangan melintas dalam benakku. Bayangan sahabat yang mungkin sedang menunggu kedatanganku. Aku kembali berlari untuk menemuinya tanpa memperdulikan apapun yang berada di sekitarku. Keinginan terbesarku adalah memeluk, menangis dan mencurahkan seluruh isi hati pada satu-satunya sahabat yang kumiliki. Kuloncati tangga untuk mencapai pintu gubug yang masih terbuka. Hanya selangkah saat kakiku menjejak masuk. Ya, hanya selangkah saat mataku tertuju pada satu titik yang membuatku terperanjat, diam lalu duduk melemas.

Mataku terbelalak menyaksikan dua onggok mayat yang hanya menyisakan kerangka, tergeletak begitu saja di dekat tungku. Satu di antaranya adalah kerangka binatang yang menindih kerangka manusia tepat di perutnya.

Sedangkan kerangka manusia itu!
"Itu kan aku!"
* * *


Tulisan ini pertama kali tampil di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar