Sewaktu
kecil, ibu selalu melarang untuk tidak keluar saat malam. Suasana yang
gelap menjadi alasan utamanya. Alasan lain adalah di luar banyak setan
atau makhluk halus yang selalu menggoda manusia. Sebagai seorang anak,
saat itu aku sama sekali tidak tahu apa hubungan antara malam, gelap dan
setan. Bahkan hingga saat ini saat usiaku menjelang tujuh belas tahun,
aku sama sekali tidak menemukan adanya keterkaitan antara konsep-konsep
abstrak tersebut. Satu hal yang membuatku patuh saat itu hanyalah kata
takut. Sebuah kata yang memang ditujukan untuk menakutiku dan sebagian
besar anak kecil lainnya agar tidak bermain di malam hari. Sayangnya,
kebanyakan anak kemudian tumbuh menjadi orang-orang yang takut pada
malam dan gelap.
Selama masa pertumbuhan,
aku sering mendengar cerita dari beberapa orang yang mengaku pernah
mendapati keberadaan setan, hantu, jin, genderwo atau makhluk lainnya.
Walau tak sedikitpun aku meragukan keberadaan makhluk kasat mata
tersebut, aku tak yakin jika cerita mereka benar seluruhnya. Umumnya
cerita itu terjadi pada malam hari. Cerita mereka seolah mempertegas
bahwa setan memang selalu keluar pada saat tersebut. Satu penjelasan
yang seolah menjadi logis bahwa makhluk tersebut takut pada sinar
matahari dan akan terbakar jika terkena sedikit saja dari sinarnya.
Setan
yang terbakar oleh sinar matahari! Pernyataan yang cukup menggelitikku.
Sebuah penjelasan yang sama sekali tidak menjelaskan, terkesan aneh,
bahkan menurutku sangat aneh. Betapa tidak, aku ingat pelajaran agama
sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah dahulu bahwa setan diciptakan
dari api. Apa mungkin api bisa terbakar mengingat sifatnya yang
seharusnya membakar? Entahlah, apa yang salah dengan semua ini, mungkin
cara berfikirku saja yang salah karena sedikit berbeda dengan yang lain.
Mungkin juga logika sederhana dari seorang yang putus sekolah sepertiku
memang tidak bisa diterapkan pada hal-hal yang bersifat gaib.
Semenjak
kecil, aku sama sekali tidak pernah merasa takut akan keberadaan
makhluk-makhluk tersebut. Melihat mereka bukanlah hal aneh bagiku, bahkan
di siang bolong sekalipun. Bagiku, mereka jauh dari gambaran orang yang
menakutkan, banyak diantara mereka yang terlihat sama seperti kita.
Memang tidak jarang pula yang menunjukkan dirinya dengan wujud yang
menyeramkan. Beberapa memiliki wajah rusak atau garang dengan bulu tebal
di sekujur tubuhnya, taring yang menyeringai dengan liur kental yang
melendir, hingga tak memiliki wajah sama sekali. Namun, sepengetahuanku
wujud yang mereka tampakkan selalu sama dengan apa yang kupikirkan.
Mereka akan berwujud menyeramkan jika aku berfikir demikian. Begitupun
sebaliknya, mereka akan tampak seperti kita jika aku berfikir seperti
itu. Kenyataannya adalah semua bentukan selalu terjadi akibat proses
imajinasi.
Keanehan lain yang kusadari
adalah aku bisa melakukan percakapan dengan mereka kapanpun dan
dimanapun. Setiap orang yang melihatku bercakap selalu menganggapku
gila. Mereka selalu mengira jika aku berbicara, tertawa bahkan marah
sendiri. Mungkin itu juga salah satu sebab mereka menjauhiku, kecuali
keluargaku yang menganggap hal tersebut sebagai kelebihan yang kumiliki.
Satu
hal yang selalu membuatku takut adalah hari ulang tahunku. Kusadari
beberapa hal semenjak dua tahun yang lalu saat meninggalnya adikku.
Salah satu peristiwa yang bertepatan dengan hari ulang tahunku. Entah,
apakah ini hanya sebuah kebetulan atau sebuah kutukan seperti yang
diributkan orang-orang di kampungku. Aku sadar, selalu ada kematian yang
mewarnai hari ulang tahunku. Runutan kejadian yang aku ingat dimulai
dari kematian nenek, beberapa saudara sepupu, ibu, adik dan terakhir
adalah ayahku. Mereka meninggal di saat yang sama dengan hari
kelahiranku. Aku ingat, mereka yang meninggal adalah orang-orang yang di
hari itu sering mengajakku bicara atau sangat dekat denganku. Tapi aku
tak pernah tahu bagaimana mereka bisa meninggal. Ya, aku tak tahu karena
tak ada yang mau memberi tahu. Semua bungkam saat kutanya itu.
Tragedi
tahunan yang kualami, sepertinya telah lama disadari oleh warga
kampung. Hal itu tentunya membuat mereka resah. Puncaknya adalah tahun
lalu, sesaat setelah ayahku dimakamkan. Tanpa perasaan, mereka mengusir
aku dan adikku untuk meninggalkan kampung. Beruntung, saat itu kakek dan
paman sebagai saudaraku yang tersisa bisa meredam emosi warga. Entah
apa yang telah dijanjikannya, yang jelas mereka tunduk dan patuh pada
ucapan kakek. Beliau memang dianggap sebagai sesepuh kampung, beliau
adalah generasi ke lima dari pendiri kampungku.
Bagiku,
meninggalkan kampung bukanlah masalah besar tapi tidak untuk adikku
yang saat itu masih berusia tiga tahun. Aku sadar, di usiaku yang sangat
muda tersebut tak mungkin bisa menjaga dan merawatnya tanpa bimbingan
orang yang lebih tua. Akibat dari peristiwa itu pula aku semakin
diasingkan dari lingkungan sosial. Keterasingan membuatku memutuskan
untuk menjadikan makhluk-makhluk yang hanya dapat kulihat sebagai sahabat
sekaligus pelindungku. Keputusanku itu semata-mata kulakukan kerena aku
tak lagi memiliki teman untuk diajak berbicara dan bermain.
Semua
kejadian tersebut membuatku percaya bahwa semua yang kualami bukanlah
suatu kebetulan, melainkan kutukan. Pertanda lain yang membuatku percaya
adalah tanda hitam di dada kiriku yang menyerupai memar. Aku ingat
memar ini awalnya hanya berupa titik-titik kecil. Seiring bertambahnya
usia, memar di tubuhku semakin jelas dan terlihat menyerupai telapak
tangan dengan ruas jari yang sangat panjang.
Tanda
lahir yang akan terus melekat di tubuhku ini, selalu terasa panas di
saat-saat tertentu. Terutama saat malam pergantian usiaku, rasa panas
itu tak pernah bisa kutahan dan selalu bisa merenggut alam sadarku. Aku
tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri, yang jelas saat kesadaranku
kembali, selalu terdengar isak dan jerit tangis dari keluargaku sebagai
pertanda adanya kematian.
Pertanyaan
mendasar yang kemudian timbul adalah, siapa yang mengutukku dan kenapa
aku dikutuk? Tak seorangpun yang bisa atau mau menjawab, tak terkecuali
kakek dan pamanku.
* * *
Tahun
ini, aku mencoba membuktikan diri terhadap teori kutukan yang
menimpaku. Aku sengaja menghindar dari orang-orang, terutama dari orang
yang kukenal. Tujuanku adalah sebuah gubug pinggir danau di tengah
hutan. Tempat yang sering kukunjungi bersama ayah semasa hidupnya.
Tempat yang jauh dari cacian, hinaan dan cibiran orang-orang yang selalu
memojokkan dan menafikkan keberadaanku.
Aku
pergi di tengah hujan yang tak kunjung mereda. Perjalanan selama dua
jam, hampir membawaku ke tempat tujuan. Suasana semakin meremang,
mentari yang enggan muncul sejak siang tadi pun telah sempurna
bersembunyi di antara dua bukit yang berdiri kokoh di hadapanku. Tetesan
air di pepohonan sisa hujan, ditambah balutan kabut yang mulai turun,
membuat tubuhku sedikit gemetar menahan dingin. Sambil terus berjalan,
aku mencoba mengusir dingin dengan menggosok-gosokan kedua telapak
tangan, meniupnya lalu menempelkannya menutupi telingaku.
Setapak
licin yang banyak tertutup rerimbunan karena jarang dilewati terus
kutelusuri. Rerimbunan itu kerap menjegal langkahku, seolah mencegah
agar aku tidak masuk lebih dalam menuju suasana hutan yang jarang
dilintasi tersebut. Langkahku terhenti tepat di percabangan setapak, di
hadapanku terlihat dua pohon besar yang mengapit setapak. Entah kenapa
aku selalu merasa jika kedua pohon tersebut adalah pilar kokoh penyokong
sebuah istana yang megah. Aku yang hapal betul wilayah tersebut tahu
jika itulah gerbang masuk tujuanku. Di balik dua pohon itu adalah
turunan terjal, jalan terakhir yang harus kutempuh sebelum sampai di
tempat tujuan.
Tepat di antara dua pohon
yang mengapit jalanku, aku kembali terhenti. Binar sorot mataku tertuju
pada danau kecil yang sudah tertutup kabut. Namun sesuatu yang janggal
terjadi. Suasana sekitarku mendadak hening, jeritan serangga yang
kudengar sepanjang jalan tiba-tiba saja menghilang. Pemilik jeritan dan
penghuni lain seolah menyadari kedatangan sesosok makhluk asing ke
tempatnya. Dingin, sunyi, senyap itulah yang kurasakan, tapi aku tak
akan mundur hanya karena suasana seperti itu. Tak seberapa lama mereka
kembali menjerit dan bernyanyi, seolah mengabaikanku dan tahu jika aku
bukanlah ancaman.
Setelah menuruni setapak
terakhir, aku berjalan menyisir danau menuju gubug gelap yang berdiri
tepat di tepi danau. Aku menatap gubug yang hanya beberapa langkah lagi
di hadapanku. Tepat di depan gubug, kupandangi beranda mukanya yang tak
sedikitpun berubah. Sesaat kemudian aku meniti tangga kayu sambil
mencabuti beberapa ilalang yang tumbuh menutupi titianku.
Pintu
gubug terlihat sangat rapat walau tak pernah terkunci. Hanya dengan
sedikit dorongan saja, pintu itupun terbuka dan mengeluarkan suaranya
yang khas. Suara geritan kayu yang saling beradu terdengar sangat
panjang saat pintu itu terbuka secara perlahan. Hawa dingin dan lembab
mengeruak keluar, mengiringi suara menggaung yang merambat melalui
ruang-ruang kosong dalam gubug. Suasana getir dan hampa seolah
menyambutku untuk mengisi bangunan kosong tak bertuan itu.
Seperti
halnya orang yang sudah terbiasa masuk ke suatu tempat, dalam keadaan
gelap tanganku menggapai lampu tempel yang biasanya menggantung tak jauh
dari pintu. Lampu itu memang masih ada walau kurasakan debu tebal telah
menyelimutinya. Tanpa banyak berfikir, aku menyalakan lampu tersebut
dengan geretan yang sesaat lalu kurogoh dari saku celanaku.
Nyala
api yang terpancar dari lampu kusam seketika menerangi ruangan, mataku
pun mulai liar memperhatikan keadaan sekitar. Sepertinya tak ada
seorangpun yang pernah berkunjung. Bahkan plastik bekas makanan pun
masih berada dalam keleng bekas yang sengaja kujadikan asbak setahun
lalu. Kaleng itu kini masih tetap di atas meja panjang yang hampir
melintang di tengah ruangan. Seluruh benda yang ada di ruangan pun masih
tetap berada di posisinya, sama seperti saat kami tinggalkan dulu.
Tubuhku
yang masih terlapasi pakaian basah, mulai menggigil, jemariku semakin
terasa kaku dengan kerutan pucat yang semakin memanjang dan menebal.
Secepatnya aku menyalakan perapian untuk mengembalikan suhu tubuhku yang
mulai turun. Tak perlu waktu lama untuk bisa membuat api dengan kayu
kering yang tertumpuk di dekat tungku tersebut. Kutanggalkan seluruh
pakaian dan kuganti dengan pakaian kering yang kubawa dalam tasku,
kemudian mencoba untuk menghangatkan diri.
Panas
api yang meresap ke badanku mulai terasa panas, aku membalikkan tubuh
untuk menghangatkan punggungku. Saat itulah aku melihat dua sinar
berwarna hijau, sinar yang keluar dari sepasang bola mata yang tengah
menatapku liar. Mata itu mengawasiku tepat di tengah jendela tak
berkaca. Jelas aku terperanjat, terlebih pada sorotnya yang mengirimkan
aura buas dan siap menerkam kapanpun. Tatapannya semakin tajam, ia mulai
menyeringai memperlihatkan taringnya sambil mengeluarkan geraman.
Geraman demi geraman semakin terdengar bernafsu seolah ingin menunjukkan
jika aku sedang menempati wilayahnya.
Detak
jantungku semakin cepat, aku bisa merasakan aliran darahku yang semakin
memanas. Aku mulai panik, tapi mencoba bersikap tenang dan berusaha
mengendalikan keadaan. Perlahan aku berdiri, bergerak sedikit demi
sedikit mendekati tumpukkan kayu bakar. Aku berfikir jika kayu itu
adalah satu-satunya senjata yang bisa kugunakan jika tiba-tiba saja ia
menyerangku.
Aku berusaha untuk memalingkan
wajah, namun mataku tetap tertuju padanya. Ia yang terus memperhatikan
setiap gerakkanku, nampaknya sadar jika aku mulai terpojok. Sesaat, ia
berhenti menggeram. Aku memberanikan diri untuk kembali menatapnya dan
mulai merasa jika tatapannya tak sebuas sebelumnya. Walau demikian, aku
harus tetap siaga dalam posisiku. Aku tahu yang kuhadapi saat ini
hanyalah seekor kucing hutan, tapi aku sadar binatang kecil yang liar
itu mampu mencabik kulitku hanya dengan cakar dan taringnya jika aku
lengah. Apalagi aku memasuki wilayahnya, ia pasti akan mempertahankan
wilayahnya apapun yang terjadi.
Sesuatu
yang kupikirkan terjadi, binatang itu mulai melompat ke atas meja
panjang. Meja itu memang tak jauh dari lubang jendela tempat
kemunculannya. Posisiku masih terlalu jauh untuk bisa memukulnya dengan
batangan kayu bakar yang telah kugenggam. Namun, di luar dugaanku ia
hanya diam dan duduk sambil terus menatapku. Geraman yang kudengar tadi
seketika berubah menjadi deru nafas kucing yang kering dan berat.
Seperti kucing rumahan, ia hanya duduk diam menunjukkan keluguannya
seolah menanti belaian halus pemiliknya.
Syaraf
tegangku mulai mengendur, kuberanikan diri untuk mendekatinya.
Perlahan-lahan, setapak demi setapak akhirnya langkahku terhenti tepat
di depannya. Seakan tahu jika aku masih ragu, kucing itu memalingkan
wajahnya memberikan kesempatan bagiku untuk menyentuh dan membelainya.
Kucing
liar yang tak seliar dugaanku. Begitu pikirku saat tangan ini bisa
dengan bebas menjamah dan mengelusnya. Sepertinya ia pun menikmati
setiap belaian lembut dari tangan kasarku. Setiap kali kuhentikan
belaian, ia selalu menggosokkan bulu-bulu lehernya pada telapak tanganku
seolah melarangku untuk berhenti. Aku senang di malam pertama
pengasinganku, masih ada makhluk yang mau menemaniku.
Kucing
liar yang baik, seketika itu kuanggap sebagai sahabat. Aku mencurahkan
segala kekesalanku padanya, walau aku tahu seekor kucing tak akan mampu
membalas setiap perkataan dan pertanyaanku. Namun dari sikap yang
ditunjukkannya aku yakin jika ia mengerti akan perasaanku. Aku mulai
berfikir jika ia sama denganku, dalam kesendirian selalu membutuhkan
teman. Teman untuk bercerita dan berbagi.
Malam
yang semakin larut berpadu dengan lelah yang kurasakan. Aku pun
merebahkan diri di dekat perapian yang telah kubuat lalu tertidur dengan
pulasnya. Saat terbangun, aku kembali terkejut mendapati kucing yang
semalam kubiarkan di atas meja, kini berada dalam pelukanku. Mungkin
kucing itu mencari kehangatan lain dari suhu tubuhku, atau mungkin juga
kucing itu bermaksud untuk menjaga suhu tubuhku dari dinginnya malam di
tepian danau.
* * *
Dua
malam kulalui dengan sahabat baruku. Siang sebelum malam penutupan usia
ke enam belas tahunku, aku masih saja sibuk mengecek beberapa benang
pancing yang telah kutebar di sepanjang pesisir danau. Malam nanti
seharusnya adalah malam yang kutakuti, tapi aku merasa bahagia karena
tak ada lagi orang yang mungkin mati tanpa sebab akibat pengaruh
kutukanku.
Aku mulai merasa jika tanda
hitam di dada kiriku mulai memanas dan semakin memanas. Aku tahu tinggal
beberapa jam lagi, rasa panas di dadaku tak akan sanggup kutahan. Rasa
panas itu semakin menjadi, bahkan dinginnya air danau yang seharusnya
bisa membekukan aliran darah pun tetap tak mampu meredakan rasa panas di
dadaku. Aku mencoba untuk kuat dan pasrah, berharap bahwa semua pasti
berlalu.
Beberapa ikan yang berhasil
terpancing, kubawa ke dalam gubug lalu kuletakkan begitu saja di hadapan
sahabat baruku. Aku merebahkan diri sambil menahan rasa panas yang
ternyata datang lebih awal. Tak kuasa menahan panas, aku menjerit dan
meronta. Namun semakin aku menjerit, rasa panas itu semakin kuat.
Semakin kuat aku meronta, rasa panas itu semakin menyebar, hingga
akhirnya kesadaranku pun hilang.
Seperti
biasa aku tak tahu berapa lama telah kehilangan kesadaran, yang kutahu
aku terbangun tanpa terdengar isak dan jerit tangis kematian. Aku
tersentak saat kesadaranku belum peluh sepernuhnya. Aku tengah berada di
tempat lain yang dikelilingi oleh pepohonan yang sangat tinggi.
Dedaunan yang sangat lebat, sempurna menghalangi masuknya sinar mentari.
Suasana remang yang cenderung gelap membuatku berfikir jika hari akan
berganti malam. Aku bingung oleh keadaan saat itu, tapi kebingungan itu
seolah tertutupi oleh perasaan senang karena ulang tahunku tak lagi
merenggut korban.
Berbekal sedikit perasaan
senang itu, aku berniat kembali menuju gubug. Aku ingin sahabatku tahu
bahwa tahun ini tidak ada korban yang jatuh. Keadaan hutan di sekitarku
terasa sangat asing, sepertinya aku tersesat. Saat itu juga kusadari
bukti baru bahwa selama kehilangan kesadaran aku tidaklah pingsan.
Ketakutan lain tentang diriku muncul, mungkin saja tubuhku dikendalikan
oleh makhluk lain saat tak sadarkan diri. Ketakutanku semakin merujuk
pada dugaan peristiwa masa lalu. Mungkin juga makhluk yang mengendalikan
tubuhku telah membunuh orang-orang terdekatku di tahun-tahun sebelumnya.
Dugaanku
terus mengarah ke sana. Alasan utama yang memperkuat dugaan itu adalah
setiap orang yang kutanya selalu bungkam dan tak pernah mau menceritakan
peristiwa kematian sesungguhnya. Selain itu, aku tak boleh menghadiri
pemakaman. Semuanya terasa tak lazim dan terkesan terburu-buru.
Aku
diam dan merasakan ketakutan tanpa sebab yang tak pernah kurasakan
sebelumnya. Aku bahkan takut untuk kembali pulang, aku takut jika semua
dugaanku benar, aku takut untuk menjalani sisa kehidupanku. Aku takut
karena ada sosok lain yang mengekang kesadaranku dan siap menerkam siapa
saja saat ia mengendalikanku. Aku takut karena aku adalah seorang yang
terkena kutukan tanpa tahu sebab musababnya.
* * *
Waktu
sepertinya berlalu dengan cepat. Beberapa cahaya terlihat berusaha
untuk menembus kanopi hutan yang tebal. Berjam-jam lamanya aku duduk
terpaku dengan lamunan tak berguna. Mataku seketika teralih pada sebuah
gerakan yang menggugah kembalinya semangatku. Dari posisiku, samar-samar
terlihat seseorang yang turun dari atas bukit dengan kayu-kayu kering
di punggungnya. Aku tahu jika ia adalah seorang perambah hutan yang
mencari kayu bakar. Itu berarti, ada perkampungan yang seharusnya tak
jauh dari tempatku.
Aku berusaha mencuri
perhatian dengan meneriakinya, tapi ia sama sekali tak mendengar. Aku
berfikir tak mungkin jika teriakanku sampai tidak terdengar, kecuali
jika ia tuli. Akhirnya kuputuskan untuk mengejarnya. Namun perpaduan
antara jarak yang jauh ditambah gerakannya yang sangat cepat juga medan
yang sangat berat, membuatku kehilangan sosoknya di balik rerimbunan.
Walau
demikian, aku lega karena kutemukan juga setapak jalan yang mungkin
akan membawaku menuju perkampungan yang kukenal. Benar saja, setelah
beberapa jam kutelusuri setapak itu, aku menyadari jika yang kulalui
adalah setapak yang kukenal. Setapak yang memang menuju salah
perkampungan, namun bukan kampung yang kulewati untuk menuju danau itu.
Bahkan arahnya pun berlawanan, itu berarti aku berada dalam hutan di
gunung yang lain. Lalu bagaimana aku bisa berada di gunung ini? Berapa
lama pula aku kehilangan kesadaran hingga berada pada jarak yang sangat
jauh dengan tempat terakhir saat aku sadar? Semuanya membuatku semakin
bingung, satu hal yang kupikirkan saat itu adalah kembali pulang.
Sepertinya
orientasiku terhadap medan telah kembali, tapi aku kembali dibingungkan
oleh disorientasi waktu yang kualami. Sesaat lalu aku mendapati cahaya
matahari yang menembus kanopi, namun setelah kutemui perkampungan,
suasana masih saja remang. Tak mungkin aku berjalan selama seharian
penuh, karena yang kurasakan tadi tak sampai sejauh itu. Kucoba untuk
menepis pikiran itu lalu bergegas menelusuri kampung dan kembali ke
rumahku.
Di tengah perkampungan, aku merasa
janggal dengan suasana yang terjadi, suasana malam yang ramai namun
terasa begitu damai. Sepanjang jalan kutemui sosok-sosok yang menatap
dan menyapaku ramah, tapi aku tahu mereka bukanlah golongan bangsaku.
Mereka hanyalah sekumpulan makhluk-makhluk yang hanya dapat kulihat dan
kutanya.
Tepat tengah malam, aku tiba di
rumah. Seperti biasa, keadaannya kosong dan gelap, tak ada penerangan
sedikitpun. Anehnya, aku merasa enggan untuk sekedar menyalakan lampu
tempel yang menjadi sumber penerangan bagi rumahku juga seluruh rumah di
kampungku. Walau demikian aku memperoleh ketenangan dalam keadaan
tersebut. Dalam tenang aku pun tertidur.
Esoknya,
aku berniat mengunjungi kakek dan menengok adikku. aku ingin
menceritakan seluruh peristiwa yang kualami. Peristiwa bahagia juga
keanehan-keanehan lain yang tak pernah kualami sebelumnya. Kupacu
langkahku dengan semangat yang menggebu, berharap sisa keluarga yang
kumiliki ikut merasakan kebahagiaanku.
Sesampainya
di pekarangan, aku sedikit kaget melihat pertumbuhan adikku. Ia
terlihat sedikit lebih besar dibanding pada saat terakhir aku
melihatnya. Maklum, selama ia dirawat kakek aku jarang sekali
menemuinya. Adikku tampak senang saat melihat kedatanganku. Ia berteriak
sambil melambaikan tangan ke arahku. Aku bergegas menghampirinya, namun
satu hal yang tak pernah kuduga sebelumnya terjadi. Hal terpahit yang
aku alami sepanjang ingatanku. Kakek berteriak dan menyuruh paman untuk
menarik tubuh adikku ke dalam. Beberapa detik kemudian, paman kembali
keluar dan menyerahkan sebuah benda yang terbungkus kain putih pada
kakekku. Aku tahu dalam bungkusan itu adalah keris pusaka leluhurku.
Seperti
halnya orang-orang pintar yang sedang mengusir setan, kakek mengucap
mantera lalu menghunuskan kerisnya ke arahku. Aku semakin heran, tanpa
alasan dan sebab yang jelas ia menyuruhku pergi dan jangan kembali lagi.
Yang membuat hatiku sakit adalah kakek mengusir sambil berulang kali
menyebutku setan. Tanpa memberiku waktu untuk bertanya dan meminta
penjelasan, ia mendekat sambil terus menyabit-nyabitkan kerisnya.
Saat
itu juga aku pergi tanpa tujuan berbekal sakit hati yang tak mungkin
kulupakan. Aku berlari dan berlari, hingga tersadar aku telah berada di
dalam hutan tepat diantara dua pohon besar yang menjadi gerbang menuju
gubug di pinggir danau. Entah apa yang membawaku ke tempat itu. Aku
duduk melemas memandangi danau yang tampak kehijauan sambil meratapi
kebingungan dan kekecewaan yang terus menyesak.
Tanpa
sebab, sesosok bayangan melintas dalam benakku. Bayangan sahabat yang
mungkin sedang menunggu kedatanganku. Aku kembali berlari untuk
menemuinya tanpa memperdulikan apapun yang berada di sekitarku.
Keinginan terbesarku adalah memeluk, menangis dan mencurahkan seluruh
isi hati pada satu-satunya sahabat yang kumiliki. Kuloncati tangga untuk
mencapai pintu gubug yang masih terbuka. Hanya selangkah saat kakiku
menjejak masuk. Ya, hanya selangkah saat mataku tertuju pada satu titik
yang membuatku terperanjat, diam lalu duduk melemas.
Mataku
terbelalak menyaksikan dua onggok mayat yang hanya menyisakan kerangka,
tergeletak begitu saja di dekat tungku. Satu di antaranya adalah
kerangka binatang yang menindih kerangka manusia tepat di perutnya.
Sedangkan kerangka manusia itu!
"Itu kan aku!"
* * *
Tulisan ini pertama kali tampil di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar