Kamis, 26 September 2013

Menuliskan Pemahaman dan Pengalaman

Menulis sebenarnya bisa dilakukan dengan tema apa saja, seperti pengalaman, pemahaman, kritik atau sekadar keluh kesah (curhat). Menarik atau tidak, tergantung bagaimana cara mengemasnya. Kendati demikian, masalah yang kerap dihadapi dalam menulis, adalah ketiadaan ide. Atau mungkin sudah ada ide, tapi tak bisa mengawalinya. Hal itu pun sebenarnya bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja.

ilustrasi: faridauliatanjung.wordpress.com
Iseng-iseng karena tak ada lagi ide untuk meneruskan tulisan, membaca sepertinya bisa menjadi sarana refreshing. Bisa membaca tulisan sendiri, sambil sedikit-sedikit mengedit, atau membaca tulisan orang, siapa tahu ada pemahaman yang bisa menjadi ide lalu diadopsi ke dalam tulisan. Atau bacaan tersebut kemudian menginspirasi menjadi tulisan lain yang benar-benar berbeda.

Siang tadi, saya membaca sebuah puisi berjudul Cermin (yang telah diganti menjadi Cermin Diri) karya Valencya Poetri. Puisi yang menggerakkan saya untuk coba-coba menggali, lalu menuangkan pemahaman ke dalam bentuk tulisan.

Pada bait satu, puisi Cermin tersebut dibuka dengan sebuah kalimat ajakan 

/sekali waktu duduklah di hadapannya/.

Setelah mengikuti hingga larik terakhir di bait itu, penulis sepertinya mengajak pembaca untuk melakukan introspeksi diri. Bukan untuk menggambarkan, bukan juga untuk menangkap pengalaman saat duduk di depan cermin. Seolah ada aura kebijakan dan perasaan tenang  yang didapat dalam larik tersebut.

Begitu pun dengan tidak digunakannya eklitik ku, mu, nya dalam lirik, tulisan ini seolah memang ingin mengajak semua kalangan termasuk juga penulisnya untuk masuk dalam sebuah introspeksi diri. Sederhananya, ajakan ini adalah ajakan umum, tanpa paksaan, tanpa memandang atau menunjuk siapapun. Sampai di bait 2 makna ajakan tersebut masih kental terasa.

Namun, saat memasuki bait 3, tiba-tiba saja ada emosi penulis yang dipaksa masuk dan meledak dalam sebuah monolog.

/apalagi yang hendak kau sembunyikan pada jaman?/ 

Monolog yang dilakukan penulis tersebut, seolah-olah menggiring pembaca untuk memasuki dunia aku (lirik). Namun karena sifatnya monolog, penggunaan aku, kamu jelas merujuk pada penulis. Dengan kata lain tulisan mulai bergeser dari sebuah ajakan umum menjadi kartasis yang sifatnya personal, ke-aku-an, eksploitasi diri dan sebagainya.

Siapapun tahu, kartasis merupakan sarana untuk mengolah dan mengungkapkan pengalaman pribadi yang mungkin mengecewakan, memotivasi diri dari kejadian yang didapatnya, dari lingkungan sekitarnya. Sederhananya, kartasis dipakai sebagai pengendalian 'trauma', kekecewaan atau ketidaksesuaian harapan dengan kenyataan.

Sayangnya, penempatan kartasis dalam tulisan yang diawali dengan ajakan yang bersifat umum, seolah malah ingin menyamakan semua, memasukan semua (generalisasi) pengalaman agar meniru pengalaman penulis. Hal itu semakin jelas terbaca pada baris dan bait selanjutnya hingga terakhir.

Sebagai ilustrasi, saya mengambil larik awal pada bait tiga

/apalagi yang hendak kau sembunyikan pada jaman?/

jikasaja penggunaan kau dihilangkan dan kalimatnya diganti menjadi:

/apalagi yang hendak disembunyikan pada jaman?/ 

saya merasa ke-aku-an, eksploitasi diri atau kartasis tak akan terekspos. Dan puisi tersebut akan menjadi puisi yang memiliki makna universal.

Akhirnya, kesan yang tertangkap dalam tulisan ini adalah ketidakkonsistenan. Antara ajakan dan gambaran pengalaman yang sifatnya umum, objektif dan tidak memihak dengan sebuah pengalaman khusus, subjektif tapi menggeneralisir.

Hal tersebut tentunya wajar, karena memisahkan emosi dan pengalaman pribadi adalah hal yang sulit dilakukan dalam penulisan puisi. Atau bisa jadi, puisi tersebut dibuat dalam waktu yang sangat singkat tanpa proses edit yang mendalam dan tanpa pengendapan.

Apapun itu, pemahaman yang saya tulis di atas adalah pemahaman subjektif tanpa telaah mendalam, tanpa metode keilmuan. Artinya, jauh dari kebenaran. Dan tulisan ini pun semata-mata dibuat hanya untuk mengisi kekosongan, tanpa ingin membuat ketersinggungan tidak juga memaksakan kesepahaman. Apalagi menimbulkan polemik.

Sebagai penutup, saya kembali menekankan bahwa kegiatan menulis sebenarnya bisa dilakukan dengan tema apapun, tergantung bagaimana cara mengemasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar